Orang-orang berlarian dan merunduk menghindari peluru dalam kasus penembakan massal di Route 91 Harvest, festival musik country di  Las Vegas, Oktober 2018. [getty images via abcnews]
Sebulan terakhir ini, 11 orang Yahudi ditembak di sinagog seorang pria yang memasang komentar anti-Semit secara online. Dua orang Afrika-Amerika dibunuh di sebuah toko kelontong oleh seorang pria bersenjata yang gagal memasuki sebuah gereja kulit hitam. 12 orang ditembak dan dibunuh di klub malam Thousand Oaks, yang ikut menewaskan keponakan artis Tamera Mowry-Housley.

“Seperti jam kerja, spekulasi publik tentang penyakit mental yang diduga diidap para penembak segera bermunculan sesudahnya,” tulis Amy Barnhorst di situs pshychologytoday. Karena pengalaman di masa lalu, orang secara perlahan menggali ingatan, membunyikan lonceng yang sudah dikenal: perseteruan dengan para penegak hukum, kekerasan dalam rumah tangga, keterlibatan dengan kelompok-kelompok kebencian yang marak di dunia maya, perkelahian di bar, intervensi psikologis singkat berupa ancaman bunuh diri atau aksi kekerasan. “Umumnya para penembak massal ini didiagnosa sebagai pengidap depresi, gangguan spektrum autisme, atau kecemasan. Tetapi, kalaupun diagnosis itu akurat, benarkah semua itu menjadi sebab aksi penembakan?” kata Amy, Wakil Ketua Jurusan Kesehatan Mental Masyarakat, Departemen Psikiatri Universitas California, Davis.

Menurut dia, ketika seseorang merampok toko minuman keras atau menyerang pacar mereka, kita tak secara otomatis menganggap mereka sakit jiwa. “Bahkan orang-orang yang membunuh tetangganya, saingannya, atau anggota keluarga mereka, tak dikelompokkan dalam spekulasi diagnostik semacam itu,” kata Amy. “Lalu, mengapa itu berbeda dalam kasus penembakan massal?” tambahnya, menggugat.

Ekspresi kesedihan seorang keluarga korban penembakan massal di Chicago, April 2017.[Jim Young-reuters via daillybeast]
Ketika jumlah tubuh yang menjadi korban melebihi angka tertentu, kita tak lagi bisa menjelaskannya dengan perilaku kriminal tua biasa. “Atau, pada tingkat tertentu, kita semua memahami keinginan orang-orang yang kita kenal untuk mati. Tetapi membunuh sekelompok orang asing tanpa mendapatkan keuntungan atau motif yang jelas tampaknya tidak dapat dibayangkan. Ini menentang logika, sehingga kita menyebutnya ‘penyakit mental’. Dan kitapun berpura-pura itu adalah alasan yang cukup,” kata Amy.

Padahal, masih kata Amy, kebanyakan penembak massal tak memiliki diagnosis penyakit mental yang serius sebelum mereka beraksi. Sehingga kita bisa memahami "masalah kesehatan mental" seperti kasus perkelahian di sekolah, memukul pasangan, atau menjadi penyendiri yang menghabiskan terlalu banyak waktu di situs kebencian internet; berbeda dengan menderita penyakit mental seperti skizofrenia atau gangguan bipolar. “Pertimbangkan konsekuensi medis untuk kasus ini: Seorang pria berusia pertengahan empat puluhan yang hidup dengan gaya hidup yang tidak aktif. Dia makan banyak makanan cepat saji dan take out, biasanya di depan televisinya, dan meminumnya dengan beberapa gelas bir sampai dia tertidur di sofa. Dia kelebihan berat badan lima puluh pound, dan satu-satunya sumber latihannya adalah berjalan di luar untuk istirahat ringannya,” tulis Amy.

Anda tak perlu pergi ke sekolah kedokteran untuk mengetahui bahwa orang itu tak akan pernah menjadi sampul majalah kesahatan. “Tetapi ketika dia pergi ke dokter untuk pemeriksaan, dia tidak menemukan bukti adanya diabetes, emfisema, tekanan darah tinggi, atau penyakit lainnya. Dia tidak melihat kebutuhan untuk memulai pengobatan atau pergi ke rumah sakit karena dia tidak sakit secara fisik. Padahal, dia benar-benar tidak sehat,” kata Amy.

Hal tersebut, juga berlaku untuk “kesehatan mental” dalam kasus lainnya. Ada banyak orang yang marah dan sakit hati di dunia ini. Mereka dipecat dari pekerjaan, ribut dengan pasangan mereka, melakukan kemarahan di jalan, dendam, dan balas dendam. “Kita tentu tak akan menggambarkan mereka sebagai sehat secara psikologis, tetapi, seperti mereka yang kerap duduk di sofa para psikiater, mereka tak selalu memiliki penyakit yang bisa didiagnosis. Dan, kecuali mereka termotivasi untuk membuat banyak perubahan dalam kehidupan mereka sendiri, mereka sangat sulit untuk ditangani oleh profesional kesehatan mental,” kata Amy.

Orang-orang yang penuh amarah dan merasa berhak untuk menganiaya, bahkan menghabisi nyawa orang lain, ini tentu saja bisa sangat berbahaya. Bayangkan apa yang terjadi ketika Anda membawa seseorang dengan ciri-ciri kepribadian itu dan membenamkannya dalam budaya online yang memberikan validasi dan bahan bakar untuk kebencian mereka, dan mengarahkannya ke arah target tertentu: Syiah, PKI, Ahmadiyah, kaum Tionghoa, perempuan malam, dan sebagainya.

Mencoba berlaku adil, Amy menyodorkan sejumlah kasus kekerasan publik yang dilakukan orang-orang yang penyakit mentalnya mengubah persepsi mereka tentang realitas dan berkontribusi terhadap kejahatan mereka: Kasus seorang wanita muda yang, 1999, melepaskan tembakan ke sebuah stasiun televisi Utah karena dia percaya bahwa para pembaca berita telah menyiarkan video-video kehidupan seksnya. Atau kontraktor sipil untuk militer yang, 2013, menewaskan dua belas orang di DC Navy Yard karena dia mendengar suara-suara dan percaya bahwa "serangan frekuensi ultra-rendah" dari gelombang radio sedang dikirim melalui dinding untuk mencegah dia tidur. “Tetapi kasus-kasus ini adalah pengecualian langka,” tandas Amy.

Aneka senjata api yang bisa didapatkan secara bebas di Amerika. [AAP/Julian Smith via theconversation]

Sebagian besar kasus, kata Amy, penembak massal tidak didorong oleh delusi atau suara di kepala mereka. Mereka didorong oleh kebutuhan untuk menggunakan kekuasaan mereka atas kelompok lain. Mereka marah pada ketidakadilan yang menimpa mereka karena kekuasaan orang lain - wanita yang tak mau tidur dengan mereka, sesama siswa yang tidak menghargai bakat mereka, minoritas menikmati hak yang dulunya hanya hak istimewa pria kulit putih seperti mereka. “Ini bukan persepsi yang berubah dari realitas yang mendorong mereka; itu hak, ketidakamanan, dan kebencian. Mungkin beberapa dari mereka juga mengalami depresi, ADHD, atau kecemasan, tetapi itu sebabnya mereka menembaki sekelompok orang asing,” kata Amy.

Untuk mencegah kasus penembakan missal terulang, Amy menyerukan agar kita berhenti memusatkan perhatian pada penyakit mental sebagai pelakunya. “Kita perlu mengarahkan kembali upaya kita untuk memberlakukan undang-undang yang secara langsung menargetkan orang-orang berbahaya dan membatasi akses mereka terhadap senjata,” tandasnya. Langkah pertama dalam hal ini adalah menutup lubang di sistem pemeriksaan latar belakang federal. “Ini berarti menjalankan semua penjualan senjata melalui database pemeriksaan latar belakang untuk melihat apakah pembeli masuk kategori orang yang diharamkan memegang senjata. Ini juga berarti mewajibkan badan-badan negara untuk menyerahkan catatan mereka tentang orang-orang terlarang kepada pemerintah federal, sebuah proses yang saat ini bersifat sukarela dan sangat tidak lengkap,” kata Amy.

“Itu juga berarti meloloskan dan memanfaatkan undang-undang seperti Undang-undang Anti Kekerasan Ekstrem yang memungkinkan penegakan hukum untuk menghapus senjata dari orang-orang yang berada dalam risiko bunuh diri atau kekerasan,” kata Amy lagi. “Sebaliknya, jika kita terus berharap bahwa setiap orang yang marah, yang menganggap setiap orang yang memiliki marah dan dendam dan berhak memakai isi gudang senjata dapat disembuhkan oleh sistem kesehatan mental, kita menghukum diri sendiri untuk terus menyaksikan tragedi ini terungkap lagi. Dan lagi,” kata Amy. 

Mardy Lukito
Axact

Reksanews

Mengajak setiap pembelajar untuk bersama-sama mempraktikkan jurnalisme yang baik.Tak sekadar teori

Post A Comment:

0 comments: