Lukisan gua di Sulawesi. [via goodnewsfromindonesia] |
Istilah itu kembali muncul. "'Lukisan binatang tertua' di dunia ditemukan dalam gua di Kalimantan," demikian judul berita yang ditulis BBC, Kamis, 8 November 2018, itu. Dan tak hanya BBC, yang kadar "nasionalisme"-nya bisa kita curigai atau ragukan. Situs-situs berita "lokal" pun tak lepas dari pemakaian istilah tersebut: "ditemukan". "Lukisan Gua Tertua di Dunia Ditemukan di Kalimantan," demikian judul yang dipakai Republika untuk berita sama, di hari yang sama. Sementara, di bagian dalamnya, harian itu menuliskan: "Sketsa binatang tertua di dunia baru saja ditemukan di sebuah gua di Kalimantan."
Dan terusterang saja, saya terganggu dengan pemakaian istilah itu: Ditemukan. Sebuah gangguan yang saya rasakan sejak lama. Setidaknya, sejak muncul berita serupa tentang hal serupa di Sulawesi Selatan empat tahun silam. "Para ilmuwan menemukan sejumlah lukisan kuno di gua-gua di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan dan diperkirakan sebagai salah satu karya seni tertua dunia," tulis BBC kala itu, 9 Oktober 2014.
Membaca berita-berita tersebut, terkesan, seakan selama ini tak seorang pun manusia, khususnya warga sekitar, yang tak tahu menahu soal keberadaan lukisan tersebut. Seakan, para ilmuwan itulah - bukan manusia lainnya -- yang pertama kali menemukan kembali gua tersebut. Kalau ini benar adanya, merekalah yang pertama menemukannya, bagaimana caranya? Wong, mereka itu jangankan warga Kalimantan Timur atau Sulawesi Selatan, lha warga Indonesia pun bukan. Mereka ilmuwan dari Australia, warga negara Australia. Kalaupun bukan referensi ilmuwan lain, setidaknya ada peran informan lokal di situ.
Di sini ada semacam sanad atau geneologi informasi yang putus, yang dampaknya tentu saja sangat besar bagi ilmu pengetahuan itu sendiri maupun bagi kalangan awam. Bagi mentalitas dan pola pikir masyarakat Indonesia.
Saat itu, 2014, saya sebenarnya sudah menuliskan kegelisahan ini. Tapi, saya tak berani mengumumkannya karena saya belum berhasil mendapatkan penjelasan dari para ilmuwan, khususnya para arkeolog, ihwal pengertian "penemuan" dan atau "ditemukan" itu dalam konteks keilmuan. Apakah benar-benar baru, original, atau dalam kaitan lukisan gua ini sebenarnya bukan keberadaannya yang baru diketahui atau ditemukan (kembali). Melainkan pelaksanaan identifikasi usianya.
Sayang, sampai kini niat itu tak kesampaian. Nomor hape Dr. Agus Arismunandar, arkeolog yang saya kenal, entah ketelingsut di hape yang mana. Demikian pula dengan dengan nomor kontak Nirwan Arsuka, yang dulu, hampir 20 tahun lalu, bicara soal "superamsi Barat di bidang keilmuan" di Teater Utan Kayu, Jakarta.
Dan terusterang saja, saya terganggu dengan pemakaian istilah itu: Ditemukan. Sebuah gangguan yang saya rasakan sejak lama. Setidaknya, sejak muncul berita serupa tentang hal serupa di Sulawesi Selatan empat tahun silam. "Para ilmuwan menemukan sejumlah lukisan kuno di gua-gua di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan dan diperkirakan sebagai salah satu karya seni tertua dunia," tulis BBC kala itu, 9 Oktober 2014.
Membaca berita-berita tersebut, terkesan, seakan selama ini tak seorang pun manusia, khususnya warga sekitar, yang tak tahu menahu soal keberadaan lukisan tersebut. Seakan, para ilmuwan itulah - bukan manusia lainnya -- yang pertama kali menemukan kembali gua tersebut. Kalau ini benar adanya, merekalah yang pertama menemukannya, bagaimana caranya? Wong, mereka itu jangankan warga Kalimantan Timur atau Sulawesi Selatan, lha warga Indonesia pun bukan. Mereka ilmuwan dari Australia, warga negara Australia. Kalaupun bukan referensi ilmuwan lain, setidaknya ada peran informan lokal di situ.
Di sini ada semacam sanad atau geneologi informasi yang putus, yang dampaknya tentu saja sangat besar bagi ilmu pengetahuan itu sendiri maupun bagi kalangan awam. Bagi mentalitas dan pola pikir masyarakat Indonesia.
Saat itu, 2014, saya sebenarnya sudah menuliskan kegelisahan ini. Tapi, saya tak berani mengumumkannya karena saya belum berhasil mendapatkan penjelasan dari para ilmuwan, khususnya para arkeolog, ihwal pengertian "penemuan" dan atau "ditemukan" itu dalam konteks keilmuan. Apakah benar-benar baru, original, atau dalam kaitan lukisan gua ini sebenarnya bukan keberadaannya yang baru diketahui atau ditemukan (kembali). Melainkan pelaksanaan identifikasi usianya.
Lukisan menyerupai babirusa dan stensil tapak tangan di Leang Pattikere, Leang-leang, Maros, Sulawesi Selatan. [kemendikbud] |
Sayang, sampai kini niat itu tak kesampaian. Nomor hape Dr. Agus Arismunandar, arkeolog yang saya kenal, entah ketelingsut di hape yang mana. Demikian pula dengan dengan nomor kontak Nirwan Arsuka, yang dulu, hampir 20 tahun lalu, bicara soal "superamsi Barat di bidang keilmuan" di Teater Utan Kayu, Jakarta.
Kalaupun sekarang saya nekad mengumumkannya, mempostingnya di medsos atau blog, setelah mengupdatenya, mengingat sejumlah hal penting dari "penemuan" ini. Selain perkara akurasi makna istilah "penemuan" tadi, sebagaimana disampaikan Thomas Sutikna dkk di jurnal ilmiah ngetop Nature: Lukisan, di sini terutama lukisan gua, merupakan tanda kemampuan berfikir abstrak manusia. Tanda kecerdasan manusia. Artinya, lukisan gua merupakan bagian penting dari evolusi manusia.
Hal lainnya, identifikasi usia lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan ini mematahkan supremasi Eropa. Selama ini, lukisan gua tertua yang sudah diketahui dan diidentifikasi usianya adalah lukisan gua di Altamira, Santillana del Mar, Cantabria, Spanyol serta di Lascaux, Dordogne, dan Chauvet Pont d'Arc, Ardèche, Prancis - 36.000 sampai 37.000 tahun. Sementara lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan diperkirakan berumur 40.000 tahun. Dengan kata lain, sejatinya, manusia yang dulu menempati kawasan Sulawesi dan Kalimantan itu lebih maju dibandingkan saudara mereka di Eropa sana.
Walhasil, kita seharusnya bangga sebagai manusia Indonesia. Walau secara arkeologi kita bukan manusia asli "benua" Indonesia, melainkan pendatang dari kawasan Indochina sana, setidaknya kawasan yang kita huni sekarang ini sejatinya sudah "maju" sejak era prasejarah. Kalaulah sekarang kita merasa memble dan seterusnya, itulah saya kira yang harus kita renungkan, pikirkan, perangi, dan seterusnya. Wallahualam...
Hal lainnya, identifikasi usia lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan ini mematahkan supremasi Eropa. Selama ini, lukisan gua tertua yang sudah diketahui dan diidentifikasi usianya adalah lukisan gua di Altamira, Santillana del Mar, Cantabria, Spanyol serta di Lascaux, Dordogne, dan Chauvet Pont d'Arc, Ardèche, Prancis - 36.000 sampai 37.000 tahun. Sementara lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan diperkirakan berumur 40.000 tahun. Dengan kata lain, sejatinya, manusia yang dulu menempati kawasan Sulawesi dan Kalimantan itu lebih maju dibandingkan saudara mereka di Eropa sana.
Walhasil, kita seharusnya bangga sebagai manusia Indonesia. Walau secara arkeologi kita bukan manusia asli "benua" Indonesia, melainkan pendatang dari kawasan Indochina sana, setidaknya kawasan yang kita huni sekarang ini sejatinya sudah "maju" sejak era prasejarah. Kalaulah sekarang kita merasa memble dan seterusnya, itulah saya kira yang harus kita renungkan, pikirkan, perangi, dan seterusnya. Wallahualam...
Post A Comment:
0 comments: