April 2020



Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, menantu KH Mustofa Bisri dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

Setelah video yang menampilkan dua santri yang membacakan Puisi Paskah yang saya tulis beredar-luas di sejumlah WAG, muncullah percakapan, perbincangan, pro-kontra yang lumayan seru, terutama di kalangan teman-teman NU. Dalam beberapa hari terakhir ini, saya menerima banyak sekali pesan melalui WA, menanyakan: Apakah benar saya menulis puisi yang dibacakan dalam video itu. Bahkan ada seorang teman NU dari Jawa Timur yang meminta saya agar secara khusus membuat pernyataan, entah melalui video atau tertulis, bahwa sayalah penulis puisi itu.

Tak lama berselang, portal berita Duta dari Jawa Timur menulis laporan mengenai video ini, dan memuat komentar Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, seorang mantan pengurus PWNU Yogyakarta. Dan kemudian percakapan menjadi lebih “seru” lagi. Komentar Prof. Wahab sangat keras menentang puisi itu, dan video pembacaan yang menampilkan dua santri yang masih berusia sangat beli -- santri perempuan memakai jilbab, sementara santri laki-laki memakai baju koko dan peci yang memuat logo NU. Ini adalah gejala “liberalisasi” yang amat berbahaya dalam NU, kata Prof. Wahab.

Saya kira, salah satu sumber kontroversi dalam video ini adalah logo NU dalam peci yang dipakai oleh santri laki-laki itu. Seorang tokoh NU di tingkat pusat menyayangkan, kenapa harus membawa-bawa nama dan logo NU. Saya berandai-andai, jika tak ada logo NU di dalam video itu, mungkin tak akan ada percakapan seru seperti sekarang ini. Mungkin.

Semula saya malas memberikan komentar apapun mengenai soal video ini, meskipun banyak pesan yang masuk ke telepon genggam saya nyaris setiap hari sejak Jumat, 10/4, yang lalu – hari yang dikenal di kalangan umat Kristen sebagai Jumat Agung atau “Good Friday” itu, hari ketika Yesus atau Nabi Isa disalibkan. Beberapa hari ini saya diam saja, dan sama sekali tak tertarik memberikan komentar apapun, selain klarifikasi singkat yang berisi konfirmasi bahwa: Ya, saya menulis puisi itu, sekitar tujuh tahun lalu.

Tetapi, setelah berlalu beberapa hari, saya berubah pikiran: rasanya tidak baik jika saya diam saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis penjelasan ini. Mungkin saja penjelasan ini tak memuaskan semua pihak, terutama pihak- pihak yang memang memiliki “posisi intelektual-teologis” yang berbeda dengan saya, dan cenderung tak menyepakati hal-hal semacam ini. Tetapi bagi saya, itu hal yang tak perlu dirisaukan. Perbedaan pandangan adalah yang lumrah di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan nahdliyyin. Difference is a good food for a healthy society, perbedaan adalah makanan yang sehat untuk sebuah masyarakat.


Bagaimana sejarah munculnya puisi ini?

Puisi ini saya tulis sekitar tujuh tahun yang lalu, dan tidak saya niatkan sebagai sebuah puisi. Sebab, semula apa yang belakangan dikenal sebagai “puisi” itu berasal dari twit yang saya tulis persis pada saat momen Jumat Agung. Saya masih ingat, rangkaian twit yang belakangan dikumpulkan oleh seseorang (saya tidak tahu siapa) menjadi puisi itu saya tulis pada suatu pagi, menggunakan Blackberry (sekarang alat ini sudah nyaris “punah”), dan memakai aplikasi yang populer saat itu: Uber Twitter. Saya menuliskan “puisi” itu dengan “penghayatan” yang mendalam. Saya merasa, pagi itu saya seperti mengalami semacam pengalaman “teofani” (tajalliyat) yang mendadak. Setelah twit itu saya siarkan, saya sudah lupa sama sekali. Saya tak menduga bahwa twit-twit itu akan menadi “Puisi Paskah” yang digemari banyak kalangan, terutama teman-teman Kristiani.

Kira-kira setahun atau dua tahun kemudian (saya lupa persisnya), rangkaian twit-twit saya itu kemudian menyebar (bahasa sekarang: viral) pada saat perayaan Paskah sebagai sebuah puisi yang utuh. Saya tak tahu siapa yang mengumpulkan dan merangkai twit-twit itu, dan siapa yang pertama kali menyebarkannya. Sejak itu, puisi itu secara rutin beredar setiap tahun pada saat perayaan Paskah, terutama pada momen Jumat Agung. Saya senang sekali bahwa kawan-kawan Katolik/Kristen menggemari puisi ini. Bahkan ada sebagian kawan Katolik yang berseloroh bahwa ada tiga puisi Paskah: puisi Rendra, Joko Pinurbo, dan puisi saya. Puisi Paskah yang saya tulis tentu menempati posisi yang spesial karena digubah oleh seorang Muslim.


Kenapa saya menulis puisi ini?

Saya, sejak usia muda, saat menjadi aktivis di era 90an dahulu, era ketika Gus Dur masih sangat aktif sebagai intelektual Muslim paling top di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antar-iman, memang sudah berminat untuk mempelajari dan mengapresiasi tradisi keagamaan dari agama-agama dan kepercayaan di luar Islam. Agama Kristen dan Yahudi termasuk di antara dua agama yang paling menarik perhatian saya. Saya bahkan sengaja belajar bahasa Ibrani secara khusus agar bisa membaca kitab Torah dalam bahasa aslinya – meskipun masih “grothal-grathul”, belum lancar.

Saya memiliki banyak sekali teman-teman Katolik/Kristen, dan saya juga mengagumi sejumlah intelektual yang berasal dari dua tradisi keagamaan itu, seperti YB Mangunwijaya, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Eka Dharmaputera, Th. Sumartana, A. A. Yewangoe, dll. Karena itu saya tertarik untuk mempelajari keyakian dan tradisi keagamaan yang mereka anut. Saya berpikiran: jika saya berteman dengan seseorang dengan akrab, dan saya tidak mencoba memahami “lebih dalam” tradisi keagamaan dan spirtualitas dia, agaknya kok kurang lengkap.

Puisi Paskah yang saya tulis itu adalah bagian dari cara saya mengapresiasi tradisi keagamaan teman-teman saya yang beragama Katolik/Kristen. Beberapa hari yang lalu, Dr. Ignas Kleden mengirim pesan yang mengharukan via WA kepada sbb:

“Mas Ulil yang Budiman, terima kasih buat sajakmu tentang Jumat Agung yang kami rayakan hari ini. Ucapan terima kasih ini bukan lantaran simpatimu yang tulus kepada sebuah peristiwa iman Kristen yang terpenting, tetapi untuk kerendahan hatimu yang bersedia belajar dari mana saja, dari siapa saja, tentang pengorbanan sebagai tanda kasih Allah bagi semua kita. Sudah saya teruskan ke STF Ledalero-Maumere melalui adik saya Romo Leo Kleden. Penghuninya menyambut hangat puisimu ini. Salam.”

Sedikit selingan soal Dr. Kleden: Dia adalah salah satu intelektual Katolik yang saya kagumi sejak lama. Saya membaca dan menikmati tulisan-tulisan dia sejak masih usia belia, sejak masih menjadi santri di sebuah dusun di Pati: Cebolek. Salah satu tulisan panjang dia yang saya sukai, dan baca berulang-ulang (karena tidak paham!) adalah kata pengantar dia untuk bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan Soedjatmoko berjudul “Etika Pembebasan”. Tulisan-tulisannya yang disiarkan melalui jurnal Prisma pada tahun 80an juga say abaca dengan penuh antusiasme. Adalah kebahagiaan yang luar biasa besar bagi saya, menerima “compliment” dan apresiasi dari intelektual yang saya hormati ini. Saya amat terharu.


Apakah puisi ini tidak melanggar akidah Islam?

Jawaban saya: Tidak. Batas paling penting dalam dialog antar-agama adalah akidah: selama seorang Muslim masih berpegang pada akidah Islam, dia tetaplah seorang Muslim. Mengapresiasi tradisi keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat agama lain, termasuk tradisi perayaan Natal dan Paskah, misalnya, tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, dan masuk Kristen; sebagaimana seorang Kristen yang mengapresiasi tradisi dan keyakinan Islam, tidak serta-merta menjadi seorang Muslim. Dalam masalah akidah, pembeda paling penting dalam hubungan Islam-Kristen adalah pandangan tentang sosok Yesus atau Nabi Isa. Seorang Muslim mempercayai Yesus sebagai nabi sebagaimana nabi- nabi yang lain, meskipun nabi dengan kedudukan yang amat spesial; sementara umat Kristen meyakini ketuhanan Yesus.

Saya sangat mengapresiasi iman dan tradisi teologi Kristen, dan saya banyak belajar hal baru dari tradisi agama ini. Tetapi saya tetap berpijak pada akidah pokok dalam Islam tentang sosok Yesus ini: Yesus adalah nabi, bukan Tuhan. Dalam puisi Paskah yang saya tulis, tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa saya menyetujui pandangan Kristen mengenai ketuhanan Yesus. Saya hanya mengapresiasi momen penyaliban Yesus yang bagi saya, sebagai seorang Muslim, bisa dimaknai secara simbolis sebagai simbol “pengorbanan” yang besar.

Agama apapun, bagi saya, memuat simbolisme yang menarik, terutama melalui hari-hari besar yang menandai peristiwa penting dalam agama itu. Peristiwa haji dan Hari Raya Kurban yang sangat penting bagi umat Islam, misalnya, bisa memiliki “makna spiritual” yang mendalam bagi seorang Kristen jika ia berniat untuk, dan mau melakukan refleksi terhadapnya.

Bukankah dalam pandangan Islam, yang disalib di kayu palang itu bukanlah Yesus, melainkan orang lain seperti ditegaskan dalam Qur’an ayat 4:157? Masalah ini sebetulnya tidaklah sederhana, dan jawabannya tidak se-“konklusif” yang kita bayangkan. Yang berminat saya persilahkan membaca artikel lama yang ditulis oleh Prof. Mahmoud Ayoub yang dimuat dalam jurnal The Muslim World (April, 1980) berjudul: “The Death of Jesus: Reality or Delusion – The study of the death of Jesus in tafsir literature.” Saya akan sertakan secara terpisah artikel ini supaya bisa dibaca oleh teman-teman yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh.

Seperti saya katakan dalam puisi Paskah itu, saya sebetulnya tidak terlalu tertarik pada (bukan: dengan) “debat teologi”. Selain melelahkan, debat seperti ini hanya menimbulkan kesalah-pahaman yang kurang perlu, serta kurang kondusif bagi upaya membangun hubungan antar-agama yang harmonis. Saya justru lebih tertarik pada “pemaknaan spiritual” atas momen penyaliban itu: “Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu./ Aku tak tertarik pada debat ahli teologi./ Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.”

Masing-masing umat bisa memberikan apresiasi pada momen-momen keagamaan yang dirayakan oleh agama lain. Hal semacam ini akan sangat positif untuk membangun suasana keagamaan yang dialogis dan saling menghargai. Tentu saja kita tak boleh beranggapan bahwa yang tidak melakukan hal-hal seperti ini, berarti tidak toleran. Sama sekali lagi, tidak. Saya hanya mengatakan: jika ada yang mau dan mampu melangkah “lebih jauh” untuk mengapresiasi tradisi agama lain, itu tindakan yang bagus.

Sekali lagi, saya tegaskan bahwa batas pokok dalam masalah dialog antar-agama adalah akidah. Masing-masing umat beragama berhak memiliki akidah yang berbeda, dan menghargai perbedaan itu. Tetapi perbedaan ini tidak harus menghalangi seseorang untuk mengapresiasi tradisi keagamaan pada agama lain. Bahkan apresiasi semacam ini diperlukan untuk membangun dasar-dasar dialog antar-iman yang lebih kokoh.


Kebablasankah?
: Tentang dakwah rahmatan lil ‘alamin

Sebagian komentar menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dua santri dalam video- clip puisi Paskah itu adalah bentuk “toleransi yang kebablasan”. Saya menghargai komentar semacam ini. Tetapi, dalam pandangan saya, ini bukanlah toleransi yang kebablasan karena masih dalam koridor akidah yang saya kemukakan di atas. Selama seorang Muslim tidak meyakini ketuhanan Yesus, dia tidak melanggar batas. Ini prinsip yang saya pegang. Kalau ada yang berbeda pandangan mengenai hal ini, monggo saja.

Komentar semacam ini tak saya pandang sebagai sikap “tertutup”, melainkan sebagai tanda kecintaan pada Islam. Seseorang yang jatuh cinta secara mendalam pada suatu hal, sangat wajar jika ia bersikap protektif terhadap yang dicintainya. Ini tindakan yang lumrah dan alamiah. Tetapi kiblat saya dalam “cinta” adalah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sosok yang (sama dengan Ignas Kleden) pikiran-pikirannya sudah mulai saya baca dengan penuh minat sejak masih menjadi santri di kampung.

Gus Dur adalah sosok yang menjadi kiblat saya dalam banyak hal, terutama dalam pemikiran dan tindakan, selain Cak Nur. Di antara sosok-sosok yang lain, Gus Dur menempati posisi yang teramat spesial dalam formasi pemikiran saya secara pribadi. Dia benar-benar “membentuk” saya secara intelektual sejak awal.

Saya dan ratusan, mungkin bahkan ribuan anak-anak muda NU lain yang tumbuh pada tahun-tahun yang sama (dekade 80an dan 90an), banyak belajar dari Gus Dur tentang hal penting: bersikap terbuka dan tidak cemas untuk melakukan “encounter”, perjumpaan, berdialog dengan teman-teman di luar Islam – terutama Kristen/Katolik. Persahabatan Gus Dur yang sangat lekat dengan tokoh-tokoh dari berbagai agama, terutama tokoh Hindu Bali, Ibu Gedong Oka, sangat mengesankan saya dan kawan-kawan lain saat itu. Saya belajar dari Gus Dur tentang mencintai Islam, termasuk mencintai tradisi NU, secara terbuka, bukan “cinta yang protektif” berlebihan.

Tentu saja mereka yang menempuh jalan “cinta protektif” ini tidak salah. Bahkan, seperti akan saya jelaskan lebih detil di bagian penutup tulisan ini, dalam setiap agama harus ada orang-orang yang menjalani “cinta protektif” itu sebagai bagian dari “keseimbangan alam”. Itulah hukum Tuhan di alam raya ini: hukum yang tak akan berubah kapan pun (wa-lan tajida lisunnati-l-Lahi tahwilan, demikian ditegaskan dalam Qur’an).

NU sudah menetapkan jalan dakwah yang sangat penting: yaitu dakwah untuk Islam rahmatan lil ‘alamin. Yaitu jalan dakwah yang menebarkan kasih sayang, rahmat bagi semua pihak. Tentu saja ajaran ini sudah tertuang sejak awal dalam Qur’an, dan dipraktekkan sejak dahulu oleh para wali dan kiai yang mendakwahkan Islam di bumi Nusantara. Tetapi istilah ini menjadi populer kira-kira sejak Muktamar NU di Jombang pada 2015. Saya yakin benar bahwa gagasan ini tidak mungkin lahir jika tidak ada sosok Gus Dur sebagai “game changer”, sosok yang benar-benar mengubah arah orientasi kultural, intelektual, dan politik dalam komunitas nahdliyyin sejak memimpin NU pada 1984.

Tentu saja tidak semua pihak dan kiai di NU ittifaq, menyepakati jalan yang ditempuh oleh Gus Dur. Kritik dan tentangan, “al-naqd wa al-radd”, selalu ada, dan ini adalah hal yang lumrah dalam tradisi NU. Nda usah Gus Dur. Lha wong pendapat-pendapat pendiri NU pun, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tidak semuanya disepakati oleh para kiai lain. Kita masih ingat polemik antara Mbah Hasyim dan Kiai Faqih Maskumambang mengenai status boleh tidaknya (dalam kaca mata hukum fikih) menggunakan “al-naqus” atau kentongan sebagai penanda waktu salat. Ikhtilaf dan perbedaan dalam NU adalah hal yang biasa.

Berkat terobosan-terobosan pemikiran oleh Gus Dur, dan berkat jalan dakwah rahmatan lil ‘alamin inilah kemudian kita menyaksikan, saat ini, banyak kiai dan aktivis NU di sejumlah kota dan daerah yang dengan kesabaran dan keberanian luar biasa membangun “jembatan dialog” dengan kalangan di luar Islam. Saya tak mau menyebut nama, tetapi saya tahu ada banyak kiai di berbagai daerah yang menjadi “gus dur-gus dur kecil” yang melanjutkan perjuangan Gus Dur untuk membangun hubungan dengan kelompok di luar Islam. Di Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain – saya melihat kiai-kiai seperti ini.

Langkah-langkah Gus Dur juga diteruskan, misalnya, oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang setiap bulan puasa mengadakan sahur bersama yang melibatkan aktivis-aktivis lintas agama. Sebagian dari kegiatan sahur Ibu Sinta itu bahkan diadakan juga di gereja. Sejumlah tokoh NU bahkan berkunjung ke Vatikan, pusat agama Katolik, dan bertemu langsung dengan Sri Paus. Pertemuan semacam ini disambut dengan hati yang lega oleh teman-teman Kristen karena menandakan adanya ‘alaqat al-tafahum wa al-ikha’, hubungan saling memahami dan persaudaraan yang otentik.

Puncak yang mengharukan dari semuanya, “the crowning moment”, adalah langkah Banser NU yang menjaga gereja pada setiap acara Natal. Seorang anggota Banser bernama Riyanto bahkan meninggal pada Desember 2010 karena menjaga Gereja Eben Haezer di Mojokerto. Saya sempat berziarah ke makamnya. Bagi saya, dia adalah pahlawan toleransi yang patut terus dikenang.

Karena reputasi semacam inilah NU kemudian dianggap sebagai pilar toleransi yang amat penting di Indonesia, selain Muhammadiyah. Nama NU menjadi harum karena sikapnya yang terbuka dan mengulurkan “tangan persahabatan” kepada tokoh-tokoh dari agama lain.

Ini semua tidak mungkin terjadi jika tidak ada sosok bernama Gus Dur yang mengubah paradigma pemikiran dalam NU sejak tahun 80an.

Terobosan-terobosan Gus Dur ini tidak membuatnya lepas kendali dari tradisi NU. Gerakan Gus Dur tetap dalam koridor tradisi NU yang menjulur panjang ke belakang, ke sejarah Wali Songo yang sudah menanamkan benih-benih penghargaan kepada keragaman dan tradisi lokal. Gus Dur meneruskan kebijaksanaan yang luar biasa dari Sunan Kudus yang membangun menara masjid dengan arsitektur Hindu. Apa yang dilakukan teman-teman Banser saat ini adalah meneruskan saja apa yang sudah dimulai oleh Wali Songo dulu: dakwah rahmatan lil ‘alamin.

Salah satu santri yang tampil dalam video itu adalah anak seorang kawan saya, seorang kiai muda di Jakarta. Saya sendiri takt ahu siapa yang memproduksi video ini, tetapi saya menghargai upaya itu. Saya senang ketika santri putera dalam video itu membacakan Puisi Paskah dengan mengenakan peci (simbol kultural warga nadhdliyyin) dengan logo NU. Apa yang dilakukan santri cilik ini setara nilainya dengan keberanian Banser NU menjaga gereja saat Natal yang sudah berlangsung beberapa tahun – dan direstui oleh Gus Dur.


Bagaimana jika ada sikap yang berbeda?

Inilah bagian akhir dari tulisan saya. Bagian ini secara khusus saya akan gunakan untuk menjelaskan pandangan pribadi saya tentang bagaimana menyikapi pendapat yang berbeda dalam umat Islam, terutama dalam komunitas nahdliyyin. Gara-gara video Puisi Paskah ini, saya dibanjiri pertanyaan oleh teman-teman NU tentang bagaimana menjelaskan hal ini kepada masyarakat di bawah. Sebagian penjelasan sudah saya kemukakan di atas. Di bagian ini, saya hanya akan menjawab masalah yang satu ini: Bagaimana jika ada pandangan yang beda?

Video Puisi Paskah ini, seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, dikritik oleh Prof. Wahab dari Yogyakarta. Banyak kawan-kawan di NU yang keberatan, meskipun yang setuju juga tak kalah banyak. Saya senang ada kritik atas video dan Puisi Paskah saya ini.

Diskusi pemikiran menjadi hidup, dan percakapan di kalangan warga nahdliyyin berkembang lebih luas. Ini adalah al-hikmah al-makhfiyyah, hikmah yang tersembunyi di balik perbedaan: menghidupkan diskusi pemikiran. Yang tidak tepat adalah jika masalah ini “digoreng” untuk tujuan sensasi.

Saya menganjurkan, setiap perbedaan pemikiran di NU janganlah disikapi dengan cara seperti “kelompok di luar sana” menyikapi perbedaan, yaitu digoreng, diplintir di luar konteks, dibumbui dengan hal-hal lain yang non-pemikiran. Setiap perbedaan pemikiran haruslah dijadikan bahan diskusi dan sarana untuk mengeksplorasi pendapat dan argumen. Menggoreng udang bagus, tetapi “menggoreng” perbedaan untuk tujuan-tujuan yang kurang pas, sama sekali tidak bagus.

Di dalam NU, menurut saya, haruslah selalu ada perimbangan antara dua pihak: pihak yang “galak” dan pihak yang “lunak”. Saya menggunakan paradigma yang dipakai oleh Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 1565), seorang ahli fikih asal Mesir, sufi pengikut tarekat Syadhiliyyah dan pengagum pikiran-pikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240).

Dalam kitabnya yang banyak di-“balah” atau diajarkan di pesantren-pesatren NU berjudul “al-Mizan al-Kubra”, Imam al-Sya’rani meletakkan paradigma yang penting untuk menyikapi perbedaan mazhab fikih dalam Islam. Gagasan itu saya sebut sebagai Paradigma Sya’ranian yang intinya bisa diikhtisarkan sebagai berikut: Seluruh perbedaan dalam mazhab fikih bisa diperas dalam dua “timbangan” (mizan) besar, yaitu timbangan takhfif (lunak) dan timbangan tasydid (galak). Mari saya kutipkan kalimat Imam al-Sya’rani yang menarik berikut ini:

(Maaf Teks Kalimat Imam al-Sya’rani menghilang)

Secara garis besar, kutipan ini bisa diikhitsarkan sebagai berikut: seseorang yang memahami “mizan” atau timbangan paradigmatik yang dipakai oleh Imam Sya’rani akan “santai” memandang perbedaan di antara para ulama mazhab – perbedaan yang begitu sengitnya sehingga digambarkan oleh beliau sebagai cekcok yang membuat salah satu pihak memandang pihak lain telah keluar dari agama. Dengan timbangan ini, seseorang akan merasa tenang menghadapi perbedaan-perbedaan “keras” seperti itu karena dia mampu melihat hakekat di balik perbedaan tersebut.

Yang dimaksud dengan hakekat di sini adalah bahwa semua perbedaan di antara para ulama bisa dikembalikan kepada dua “timbangan” pokok: timbangan galak dan timbangan lunak. Keduanya, dalam pandangan Imam al-Sya’rani, bersumber dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Imam Sya’rani menyebut timbangan “spiritual” semacam ini sebagal “al-Mizan al-Sya’raniyyah,” timbangan Sya’rani (Sha’ranian scale).

Meskipun timbangan ini dikemukakan oleh Imam al-Sya’rani dalam kerangka perbedaan mazhab fikih, tetapi tak ada salahnya jika kita memakai timbangan atau paradigma Sya’ranian ini dalam masalah-masalah sosial yang lebih luas, terutama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di lingkungan NU, juga di kalangan umat Islam secara umum.

Dengan menggunakan “al-Mizan al-Sya’raniyyah” ini, saya ingin melihat bahwa tradisi intelektual dalam kalangan NU selalu diwarnai oleh dua model pendekatan dan pendapat: ada pendapat yang galak, ada pendapat yang lunak. Ada mode kiai yang “adaptative” dan lunak seperti Kiai Abdul Wahab Chasbullah; ada kiai yang “rigid” dan keras seperti Kiai Bisri Syansuri. Dalam setiap tahapan sejarah NU, dua model kekiaian ini selalu hadir, dan itu adalah pertanda yang amat baik.

Meskipun saya, secara pribadi, kebutuhan dalam NU untuk pendekatan yang memakai “timbangan takhfif”, lunak, adaptatif, dan kontekstul dalam situasi saat ini jauh lebih besar. Karena itu, saya lebih menyukai jenis pemikiran keagamaan yang mengarah kepada timbangan semacam ini, ketimbang “timbangan yang galak”. Meskipun, demi keseimbangan sosial, timbangan yang terakhir itu haruslah tetap ada. Seperti komentar seorang kiai ketika melihat kontroversi Gus Dur pada tahun-tahun 80an: NU itu seperti bus dengan penumpang besar; sang supir harus tahu kapan menginjak pedal gas, kapan menginjak pedal rem.

Bagaimana seseorang menafsirkan kesimbangan dua pedal ini dalam kehidupan nyata, bisa berbeda pendapat. Sesuatu yang dianggapa “kebablasan” orang tokoh A, belum tentu dipandang demikian oleh tokoh B, dan begitu juga sebaliknya. Sebab, terjemahan keseimbangan ini tidak mengena maksim atau kiadah yang “pasti”; masing-masing orang bisa mengajukan interpretasi yang berbeda. Di sini, terbuka perbedaan pandangan yang luas. Asal berlangsung secara sehat, perbedaan semacam ini sangatlah sehat dan baik-baik saja.

Setiap kelompok sosial dan kebudayaan, agar tetap eksis, membutuhkan dua jenis pendekatan seperti ini. Jika pendekatan yang “galak” dan kaku terlalu menonjol, kelompok itu akan mengalami kebuntuan, karena susah mengadapatasikan diri dengan perubahan.

Tetapi jika yang menonjol hanyalah pendekatan yang “takhfif”, lunak saja, kelompok sosial itu akan kehilangan jati diri, karena terlalu diserap oleh perubahan-perubahan zaman yang cepat. Keseimbangan antara dua “timbangan” inilah yang akan menjamin setiap komunitas tetap eksis, ada, tegak – dia dia beradaptasi, tetapi dengan tetap berpegang ada “core doctrines and values”, akidah dan nilai-nilai pokok.

Falsafah ini sudah tertuang dalam yargon yang sangat populer dalam NU: al- muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah – merawat tradisi lama yang baik, dan mengadopsi inovasi baru yang lebih baik. Sekian.*

Wal-l-Lahu a’lam bissawab.


Jatibening, Rabu, 15/4/2020 
Ulil Abshar-Abdalla

===

Untuk sekadar mengingatkan, berikut "Puisi Paskah" yang membuat kehebohan kecil ini:

Puisi Paskah


Ia yang rebah, di pangkuan perawan suci Bangkit setelah tiga hari, melawan mati.

Ia yang lemah, menghidupkan harapan yang nyaris punah.

Ia yang maha lemah, jasadnya menanggungkan derita kita. Ia yang maha lemah, deritanya menaklukkan raja-raja dunia.

Ia yang jatuh cinta pada pagi, setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci, terbalut kain merah kirmizi
:"Cintailah aku!"

Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu. Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku
Tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu, terus mengingatkanku: Bahkan Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu --
Mereka semua guru-guruku
Yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah Jumawa, bagai burung merak. Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu tentang iman yang rendah hati. Huruf-huruf dalam kitab suci, kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku.
Ia telah menebusku dari iman yang jumawa dan tinggi hati. Ia membuatku cinta pada yang dinista!
Noorca Massardi dengan bukunya, Ketika 66. (Facebook/Rayni Massardi)


Saya sudah puluhan tahun tak membaca. Termasuk sastra. “Bacaan” saya ihwal sastra dan seni-budaya lainnya tak lebih dari medsos – belakangan semata Facebook, setelah sejumlah WAG saya tinggalkan. Pendeknya, dalam hal seni-budaya, sebagaimana bidang lainnya, saya hanya orang pinggiran – untuk menghindari istilah awam. Hanya melihat dari jauh, tanpa merasakannya, merasuk ke dalamnya. Pendeknya, pengetahuan dan pengalaman saya soal ini sangat terbatas.

Saya malah merasa lebih mengenal sosok Mas Noorca di bidang jurnalistik: Wartawan Indonesia pertama yang mewawancarai pemimpin Revolusi Iran Ayatullah Khomeini di pengasingannya di Paris (1978). Mungkin lebih dini dibandingkan Nasir Tamara, satu-satunya wartawan Indonesia yang ikut menyertai Ayatullah pulang ke Iran beberapa saat sebelum Syah Iran Reza Pahlevi mundur dan hengkang ke Mesir – sampai akhir hayatnya.

Mas Noorca pula wartawan pertama, dan mungkin satu-satunya, yang mendapat pesangon cukup besar (baca: layak) dari perusahaan media tempatnya bekerja saat itu. Rp 100 juta pada tahun 1989! Sampai-sampai, untuk yang terakhir ini saya sempat mengompori seorang teman agar menuliskan kasus tersebut sebagai skripsinya. Sementara, “perjuangan saya” untuk meningkatkan martabat wartawan agar mendapat pesangon yang layak tak lebih dari Rp 25 juta. Sekitar 1997 atau 1998, kasus Saudara Ignatius Haryanto di majalah Forum Keadilan, tempat saya mengenal Mas Noorca lebih dekat.

Sehingga, kala Mas Noorca mengirim undangan launching Ketika 66, saya menduga kumpulan puisinya itu lebih merupakan sejenis “puisi-puisi politis” – sejenis kritik sosial. Semacam pelangkap untuk novelnya, September, sekaligus wujud kewartawanannya -- alih-alih kesenimanan atau kesastrawanannya. Terlebih, cover buku itu bergambarkan 6 tangan kanan yang mengacung dan mengepal. Dengan latar warna merah pula.

Saya baru sadar kalau buku itu tak lain (juga) menandai ulangtahun ke 66 Mas Noorca, ketika pagi kemarin, 28 Februari 2020, membuka Facebook. Medsos itu mengingatkan saya tentang ulangtahun yang bersangkutan – dan Mas Yudhis Yudhistira Massardi, tentunya.

Dan jadilah perayaan ulangtahun itu sebuah perayaan yang unik, yang sekaligus menunjukkan kreativitas lain Mas Noorca: Para tamu dipersilahkan membaca satu puisi yang ada di buku itu! Lengkap dengan sedikit testimoni tentang pribadi Mas Noorca.

Dan saya pun ikut pakaulan sekaligus bangga: Ikut aub membaca salah satu puisi yang ada di sana, satu panggung dengan para pembaca yang lebih profesional. Dan ini adalah kali ke lima saya membaca puisi di depan umum. Hormat dan kekaguman saya kepada beliau.

Ya, saya menaruh kekaguman kepada mantan Redpel dan Pemimpin Redaksi saya ini. Bukan semata karena nyaris tak pernah tampak cemberut, selalu tersenyum, tapi juga karena enerji kreatifnya yang seakan tak pernah habis. Selama kami jarang bertemu, sejak terakhir bersama-sama mengerjakan majalah AND, entah berapa buku yang telah ditulisnya. Terakhir, setelah “mengacak-acak” pakem haiku, dan nyaris tak henti mudik ke Bali, beliau menyertakan gambar pada puisi-puisinya itu. Dan ini kian menarik ketika beliau juga menduplikasi coretannya itu secara diapos. Dibikin kaos pula.

Sungguh, ditambah percintaannya dengan Mbak Rayni yang bikin iri banyak orang, plus tiga cucu yang salah satunya selalu bikin gemes, 66 tahun hidup Mas Noorca sangat keren adanya. Tahniah, Mas… Semoga panjang umur, sehat, penuh berkah, dan kreativ selalu!

BTW, tentang bukunya, selain keawaman tadi, saya kira epilog Bli Wayan Jengki SunartaSunarta terlalu sempurna. Saya kehabisan celah untuk ikut mengomentarinya. (Kecuali, nyatanya puisi Mas Noorca juga diapresiasi anak muda berumur 18 tahun). Yang pasti, acara pembacaan puisi seperti itu kelihatannya asyik juga bila dijadikan kegiatan rutin. Ruangannya nyaman, tak terlalu luas, sehingga penontonnya pun tak perlu banyak. (Mungkin, seperti inilah yang diangankan almarhum Rendra tentang gedung kesenian). Dan yang penting: Dari rumah saya pun tak terlalu jauh. Walau saya baru nyampai rumah jam 12-an, karena bis kota tak jua datang apalagi bajaj atau opang. Sementara, hape saya mati. Agak lama numpang ngecharge di salah satu warung di sana, untuk pesan Gojek.

Tentang format acara itu, mudah-mudahan Mas Heryus Saputro bisa lebih kokoh memberi dorongan agar menjadi kegiatan rutin.