January 2019
Amin Mudzakir. [facebook-aminmudzakir]

Amin Mudzakkir
, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama

TEMPO edisi 17-23 Desember 2018 menurunkan laporan utama tentang stagnasi elektabilitas Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, khususnya di Banten dan Jawa Barat. Penunjukan Ma’ruf sebagai calon wakil presiden belum menunjukkan pengaruh signifikan. Padahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu dipilih tim Jokowi untuk mendongkrak angka keterpilihan di dua daerah yang dikenal sebagai basis Islam politik yang kuat tersebut.

Di luar masalah mesin partai dan relawan yang kurang bekerja maksimal, kita membutuhkan suatu analisis historis dan antropologis-sosiologis untuk lebih memahami apa yang se-sungguhnya terjadi dengan konstelasi Islam politik di Banten- dan Jawa Barat. Pemahaman ini penting untuk mengerti mengapa sentimen anti-Jokowi di dua daerah itu sangat kencang, selain untuk menerka sejauh mana ketokohan Ma’ruf Amin sebagai mantan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bisa mengantisipasi sentimen tersebut.

Islam politik di sini adalah suatu aspirasi untuk memformalitaskan Islam di ruang publik. Aspirasi yang muncul pada awal abad lalu itu sekarang kembali menggejala. Dulu, pada 1950-an, aspirasi ini menggunakan jargon negara Islam. Sekarang jargon yang dipakai lebih beragam, dari khilafah hingga peraturan daerah syariah. Dalam konteks Indonesia, menurut Martin van Bruinessen (2002), aspirasi ini mengemuka dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Darul Islam (DI) serta para ahli waris ideologisnya.

Bukan Basis NU

Pada Pemilihan Umum 2014, meski secara nasional menang, perolehan suara Jokowi hanya 42,90 persen di Banten dan 40,22 persen di Jawa Barat. Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi serangan yang menggambarkan Jokowi sebagai sosok anti-Islam atau bahkan komunis diyakini merupakan pemukul yang mematikan. Serangan ini tidak berhenti setelah pemilu selesai. Belakangan, sejak rangkaian demonstrasi 212, serangan itu berkembang menjadi tuduhan bahwa pemerintah Jokowi melakukan kriminalisasi ulama. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2018 tentang intoleransi dan radikalisme menyebutkan 42,6 persen mengetahui tuduhan itu dan 52,9 persen responden dari jumlah tersebut menyetujuinya.

Bertolak dari situasi itu, Jokowi lalu memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya untuk pemilu mendatang. Ketokohan Ma’ruf sebagai pemimpin NU dan MUI diharapkan bisa meredam tuduhan negatif terhadap Jokowi yang berkembang selama ini. Terlebih Ma’ruf, yang lahir di Banten, adalah keturunan Syekh Nawawi al-Bantani, ulama besar abad ke-19 yang bermukim di Mekah dan melahirkan para ulama berpengaruh di Nusantara.

Harapan tersebut tampaknya kurang memperhatikan perkembangan masyarakat dan dinamika organisasi Islam. Di Banten dan Jawa Barat, meski sebagian besar umat terlihat suka melakukan ziarah kubur, rajin tahlilan, atau membaca qunut ketika salat subuh, bukan berarti mereka bisa dengan mudah dianggap sebagai warga NU.

Kenyataannya, pengaruh NU sebagai organisasi yang memiliki visi gerakan politik tertentu tidak sebesar yang dibayangkan. Akhir-akhir ini yang terjadi malah sebaliknya. Pembingkaian anti-NU yang berasal dari kekuatan Islam politik menguat tajam.

Di Banten, kekuatan Islam politik diikat oleh simpul ulama dan jawara. Sebagaimana ditulis Kartodirdjo (1984) dan Williams (2003), pada 1888 dan 1926 mereka menggerakkan pemberontakan terhadap rezim negara kolonial. Secara keagamaan, mereka bercorak tradisional, bahkan tergabung dalam tarekat Qadariyah dan Naqshabandiyah, tapi apakah mereka lalu bergabung ke NU adalah pertanyaan yang belum terjawab. Pelaksanaan Muktamar NU ke-13 di Menes, Pandeglang, pada 1938 tidak diikuti penataan dan ekspansi organisasi. Pada era Orde Baru, para ulama dan jawara dimobilisasi di bawah bendera Golkar. Pada periode ini muncul figur Tubagus Chasan Sochib. Secara lihai dia menyalurkan mobilisasi itu menjadi sebuah dinasti politik yang bertahan hingga hari ini.

Sementara itu, di Jawa Barat, sejak awal organisasi Islam modernis, seperti Muhammadiyah dan khususnya Persatuan Islam (Persis), terlihat sangat aktif. Organisasi yang disebut terakhir ini didirikan pada 1923 di Bandung dan terus memainkan peran penting di lingkungan perkotaan. Secara politik, pada Pemilu 1955, mereka menyalurkan suaranya ke Masyumi. Pada era Orde Baru, para tokohnya tetap aktif merawat jemaah melalui jalur dakwah (Rosyad, 2006). Di antara yang terkemuka adalah Rusyad Nurdin. Dia memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat dan, yang penting lagi, mendirikan Masjid Al-Istiqamah. Dari sini lahir model pembinaan remaja masjid bagi kalangan yang sekarang terkenal dengan sebutan “pemuda hijrah”.

Di sisi lain, alih-alih menggabungkan diri dengan NU, sebagian muslim tradisionalis di Jawa Barat lebih tertarik pada gerakan DI. Cara beribadahnya sama seperti NU, tapi dalam perkara politik mereka sangat radikal. Bahkan setelah pemimpin mereka, Kartosoewirjo, dihukum mati pada 1962, pengaruh ideologi yang diajarkannya tidak ikut padam. Salah satunya pergerakan Islam Baiat, yang berkembang di Priangan bagian selatan.

Hal lain yang terus menyulut kontroversi adalah fenomena peraturan daerah syariah. Tak pelak lagi para aktivis dan politikus berlatar belakang Masyumi dan DI adalah pengusungnya (Buehler, 2016). Mereka tersebar tidak hanya di partai Islam, tapi juga partai nasionalis, selain gerakan-gerakan Islam lokal yang aktif melakukan aksi jalanan, seperti Gerakan Islam Reformis di Cianjur dan Brigade Thaliban di Tasikmalaya. Dalam arus yang hiruk-pikuk ini, NU berada di pinggiran.

Meski demikian, sebagian besar umat mengaku tidak menjadi bagian dari organisasi Islam apa pun. Setidaknya itulah temuan survei LIPI 2018. Di Banten, dari 200 orang yang diwawancarai, 13,6 persen menyebut diri sebagai anggota NU, 4 persen Muhammadiyah, dan 6,3 persen Persis. Di Jawa Barat, angkanya lebih mengherankan. Dari jumlah responden yang sama, hanya 9 persen yang mengklaim sebagai anggota organisasi Islam, dan itu adalah NU. Tidak ada yang merasa diri sebagai anggota Muhammadiyah dan Persis.

Dengan demikian, jika temuan survei LIPI tersebut bisa diterima, terlihat betapa Banten dan Jawa Barat adalah daerah yang terbuka. Tidak ada kekuatan organisasi Islam yang dominan di sana. Karena itu, ini menjelaskan mudahnya kelompok-kelompok “Islam baru” menanamkan pengaruhnya. Umumnya berafiliasi dengan elite agama lokal, mereka tidak mempunyai program jangka panjang yang pasti, sehingga lebih sering bernegosiasi dengan kepentingan politik sesaat.

Pengambilalihan Islam Politik

Bagian terpenting dari paparan mengenai Islam politik di atas adalah kenyataan bahwa, sejak awal 1990-an, simpul-simpul pokok mereka telah berada di bawah kendali Soeharto (Hefner, 2001). Sementara sebelumnya disingkirkan, sejak itu mereka bertransformasi menjadi pendukung rezim yang paling bersemangat. Pada pemilihan presiden 2014, Prabowo Subianto pada dasarnya tinggal mengambil alih warisan mantan mertuanya itu untuk kepentingan pemenangan elektoralnya. Dalam konstelasi Islam politik ini, di mana simpulnya di Banten dan Jawa Barat sangat kuat, kampanye negatif terhadap Jokowi berjalan efektif.

Masalahnya, sejak 1990-an pula posisi NU telah berhadapan dengan kepentingan kubu Islam politik. Pemimpin NU saat itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah kritikus rezim nomor satu. Dia mempermasalahkan kecenderungan sektarianisme yang menguat sebagai akibat dari perselingkuhan para eksponen Islam politik dan penguasa. Namun serangan balik terhadap kritik ini tidak terkira. Bukan hanya Gus Dur, NU juga menjadi sasaran bulan-bulanan. Dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, serangan balik melalui celah internal berlangsung sangat vulgar.

Serangan balik terhadap Gus Dur itu sekarang dialamatkan kepada Jokowi. Muatannya selalu berkisar tentang perasaan terancam kebangkitan komunisme, ketidakpercayaan kepada keturunan Cina dan Kristen, atau ketakutan berkembangnya aliran sesat. Lepas dari soal intrik politik, isu-isu tersebut memang telah menjadi sumber kekhawatiran kalangan Islam politik sejak dulu. Ketika berbicara toleransi, yang dimaksudkan oleh mereka adalah toleransi komunal yang lebih menekankan keharusan minoritas untuk tahu diri daripada kewajiban mayoritas untuk melindungi (Menchik, 2006). Dari sudut pandang liberal, toleransi komunal adalah eufemisme dari intoleransi. Masalah tersebut kita tahu dari sejumlah laporan lembaga, seperti Setara Institute (2018) dan Wahid Foundation (2018), sudah melekat dengan citra Banten dan Jawa Barat paling tidak selama satu dekade terakhir ini.

Karena itu, ketika Ma’ruf Amin dipilih oleh Jokowi sebagai calon wakilnya, yang terjadi adalah peneguhan medan pertempuran antara NU dan Islam politik. Alih-alih pelebaran basis konstituen, yang muncul adalah penguatan batas antara nahdliyin dan non-nahdliyin. Namun, seperti diulas oleh Robin Bush (2009), rivalitas ini bukan barang baru, tapi telah menjadi narasi utama sejarah politik Islam di Indonesia. Di Banten dan Jawa Barat, pengorganisasian NU untuk membalas serangan lawan kurang kencang. Kecuali di wilayah bekas keresidenan Cirebon yang beretnis Jawa, keberadaan NU terbatas hanya di beberapa pondok pesantren tertentu. Kesan bahwa NU lebih berkembang dalam masyarakat berkultur Jawa, bukan Sunda, sulit dihindarkan.

Di samping itu, pada tataran doktrinal, harus diakui visi politik NU yang berusaha berdiri di tengah (at-tawassuth) membuatnya gamang menghadapi pertarungan elektoral yang brutal. Seruan kembali ke Khittah 1926 yang disuarakan Gus Dur dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, masih ditafsirkan sebagai tuntutan agar NU bersikap netral. Tafsir ini sekarang problematis. Konteks yang melahirkan seruan tersebut berubah total. Yang dihadapi NU bukan lagi otoritarianisme negara, melainkan sektarianisme atau politik identitas, yang telah diingatkan bahayanya oleh Gus Dur sejak awal 1990-an.

Kembali ke soal stagnasi elektabilitas Jokowi dan Ma’ruf Amin di Banten dan Jawa Barat, hal yang tidak jauh berbeda dialami Prabowo dan Sandiaga Uno. Namun, di tengah batas-batas basis identitas konstituen yang menebal, jalan menuju kemenangan dalam Pemilu 2019 bagi siapa pun masih terbuka lebar. Sebagian besar pemilih di Banten dan Jawa Barat—dengan total jumlah pemilih di dua provinsi itu sekitar 40 juta atau hampir seperlima jumlah pemilih nasional—mengaku tidak tergabung dengan NU dan organisasi Islam lain. Mereka masih menunggu datangnya kepastian hingga hari pemilihan.

*) Artikel ini, selain di Majalah Tempo edisi 5 Januari 2019, sempat tayang di akun facebook penulisnya. Dimuat ulang di sini atas izin bersangkutan.
Arum Kusumaningtyas. [facebook-arumkusumaningtyas]

Arum Kusumaningtyas,  praktisi Government Affairs & Strategic Planning, CEO Catur Sagatra Lestari, mommy of 3 amazing kiddos.

Sekarang yang lagi nge-hits di geopolitik itu adalah topik Reunifikasi alias persatuan kembali. Sebut saja, Korea Selatan dan Korea Utara pada pertengahan tahun lalu. Dan yang paling menarik sejak penghujung akhir tahun 2018, adalah geliat China-Taiwan- Hongkong. 

Dalam pidatonya 2 Januari 2019 kemarin, Presiden China Xi Jinping dengan tegas menyatakan Persatuan China adalah mutlak dan keharusan di masa depan. Mainland dan Taiwan adalah satu kesatuan. Pengalaman sejarah selama 70 tahun yang membuat selat sebagai pemisah harus menjadi pelajaran ke depan. 

Jangan biarkan pihak luar sesiapapun dan kaki tangannya di China dan Taiwan, memisahkan China. 70 tahun lalu, kekuatan luar (baca: Jepang), telah berhasil menjadikan Selat Taiwan sebagai pemisah. Dan kini, jembatan telah terbentang. Saatnya bahu membahu menghadapi kenyataan. 

2019 adalah tahun kesempatan dengan tantangan yang luar biasa. Satu China, Tidak Terpisahkan. Tidak ada China, melawan China. Kebijakan Polugri China 2019 ke depan, dengan mengedepankan soft power policy yang sangat efektif. 

Kerjasama China dan Taiwan memang mengalami perkembangan yang luar biasa. Puncaknya awal tahun 2018 kemarin, ketika Taiwan kini menjadi pulau basis militer China. Kekuatan militer baru di kawasan Asia Timur ini tentu membuat AS, Rusia dan kekuatan dunia lainnya berhitung. 

Langkah Jinping yang diawali dengan intensifikasi perdagangan. China membuka pintu lebar-lebar untuk Taiwan. Sehingga China menjadi negara tujuan investasi Taiwan dan Taiwan menjadi partner utama perdagangan China, dengan total perdagangan bilateral pada tahun 2018 mencapai US$ 2,6 triliun. Dan kini intensifikasi berlangsung berupa kerjasama militer.

Jinping menawarkan 5 proposal reunifikasi untuk Taiwan dengan high light: One Country, Two Systems. Termasuk pengakuan pada pola hidup masyarakat Taiwan, hak properti, agama dan sosial budaya masyarakat Taiwan. Ya, semacam Daerah Istimewa Yogyakarta atau Otonomi Khusus Aceh dan Papua dalam sistem tata negara kita. 

Maukah Taiwan? Jelas mau. Malah, meminjam istilah para alay, pakai bingits. Secara ekonomi mereka sebenarnya tergantung pada China. Sementara, secara militer, mereka menjadi kuat karena joint of force dengan Militer China. 

Untungnya bagi China? Hellooo...Taiwan adalah titik ujung timur wilayah China yang berhubungan dengan kelompok masyarakat Pasifik. Taiwan atau Formosa, memiliki hubungan darah/genetika dengan kelompok Melanesia, etnis mayoritas di Pasifik -- Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Para pedagang dari Elat yang ada di Pulai Nuhuyut, Kei Besar, Maluku Tenggara, sudah berdagang hingga Formosa sejak era Dinasti Tang. Sudah ada sejarah sejak berabad lampau. 

Sebuah ilustrasi yang menggambarkan ekspansi soft power policy China. [matamatapolitik]

Sementara, Indonesia pun sebenarnya sudah mempersiapkan (kian) bangkitnya kekuatan dua China yang bersatu itu. Isu pertahanan, misalnya menjadi salah satu isu penting dalam Program Nasional ke-5, pelaksanaan RPJMN tahun terakhir 2014-2019. Dengan turunan beragam isu prioritasnya. Dan semua menuju ke kawasan Asia Pasifik. 

Sementara kawasan Pasifik bisa disebut masih banyak diselimuti misteri, belum dikenal dengan baik, kita pun memiliki kekuatan lain: Satu-satunya negara di dunia yang berada di wilayah 3 region itu -- WIB, WITA, dan WIT. Sehingga, tak heran bila menjadi rebutan kekuatan-kekuatan yang ada. 

Karena itu, kalau kita masih ricuh, riuh, ribut sendiri, berdebat antara Cebong vs Kampret, menyebar hoax sana-sini, dengan alasan apapun, termasuk pemilu sekalipun, jangan menyalahkan si ini-si itu. Ambil cermin dan tunjuk muka sendiri: Ya, saya yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Saya ingin jadi Pak Ogah saja… Duduk, ribut, duit. Really? Is that our choice? 

*) Tulisan ini diambil dari status Facebook penulisnya. Ditayangkan ulang di sini atas izin yang bersangkutan.