Arum Kusumaningtyas. [facebook-arumkusumaningtyas] |
Arum Kusumaningtyas, praktisi Government Affairs & Strategic Planning, CEO Catur Sagatra Lestari, mommy of 3 amazing kiddos.
Sekarang yang lagi nge-hits di geopolitik itu adalah topik Reunifikasi alias persatuan kembali. Sebut saja, Korea Selatan dan Korea Utara pada pertengahan tahun lalu. Dan yang paling menarik sejak penghujung akhir tahun 2018, adalah geliat China-Taiwan- Hongkong.
Dalam pidatonya 2 Januari 2019 kemarin, Presiden China Xi Jinping dengan tegas menyatakan Persatuan China adalah mutlak dan keharusan di masa depan. Mainland dan Taiwan adalah satu kesatuan. Pengalaman sejarah selama 70 tahun yang membuat selat sebagai pemisah harus menjadi pelajaran ke depan.
Jangan biarkan pihak luar sesiapapun dan kaki tangannya di China dan Taiwan, memisahkan China. 70 tahun lalu, kekuatan luar (baca: Jepang), telah berhasil menjadikan Selat Taiwan sebagai pemisah. Dan kini, jembatan telah terbentang. Saatnya bahu membahu menghadapi kenyataan.
2019 adalah tahun kesempatan dengan tantangan yang luar biasa. Satu China, Tidak Terpisahkan. Tidak ada China, melawan China. Kebijakan Polugri China 2019 ke depan, dengan mengedepankan soft power policy yang sangat efektif.
Kerjasama China dan Taiwan memang mengalami perkembangan yang luar biasa. Puncaknya awal tahun 2018 kemarin, ketika Taiwan kini menjadi pulau basis militer China. Kekuatan militer baru di kawasan Asia Timur ini tentu membuat AS, Rusia dan kekuatan dunia lainnya berhitung.
Langkah Jinping yang diawali dengan intensifikasi perdagangan. China membuka pintu lebar-lebar untuk Taiwan. Sehingga China menjadi negara tujuan investasi Taiwan dan Taiwan menjadi partner utama perdagangan China, dengan total perdagangan bilateral pada tahun 2018 mencapai US$ 2,6 triliun. Dan kini intensifikasi berlangsung berupa kerjasama militer.
Jinping menawarkan 5 proposal reunifikasi untuk Taiwan dengan high light: One Country, Two Systems. Termasuk pengakuan pada pola hidup masyarakat Taiwan, hak properti, agama dan sosial budaya masyarakat Taiwan. Ya, semacam Daerah Istimewa Yogyakarta atau Otonomi Khusus Aceh dan Papua dalam sistem tata negara kita.
Maukah Taiwan? Jelas mau. Malah, meminjam istilah para alay, pakai bingits. Secara ekonomi mereka sebenarnya tergantung pada China. Sementara, secara militer, mereka menjadi kuat karena joint of force dengan Militer China.
Untungnya bagi China? Hellooo...Taiwan adalah titik ujung timur wilayah China yang berhubungan dengan kelompok masyarakat Pasifik. Taiwan atau Formosa, memiliki hubungan darah/genetika dengan kelompok Melanesia, etnis mayoritas di Pasifik -- Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Para pedagang dari Elat yang ada di Pulai Nuhuyut, Kei Besar, Maluku Tenggara, sudah berdagang hingga Formosa sejak era Dinasti Tang. Sudah ada sejarah sejak berabad lampau.
Sebuah ilustrasi yang menggambarkan ekspansi soft power policy China. [matamatapolitik] |
Sementara, Indonesia pun sebenarnya sudah mempersiapkan (kian) bangkitnya kekuatan dua China yang bersatu itu. Isu pertahanan, misalnya menjadi salah satu isu penting dalam Program Nasional ke-5, pelaksanaan RPJMN tahun terakhir 2014-2019. Dengan turunan beragam isu prioritasnya. Dan semua menuju ke kawasan Asia Pasifik.
Sementara kawasan Pasifik bisa disebut masih banyak diselimuti misteri, belum dikenal dengan baik, kita pun memiliki kekuatan lain: Satu-satunya negara di dunia yang berada di wilayah 3 region itu -- WIB, WITA, dan WIT. Sehingga, tak heran bila menjadi rebutan kekuatan-kekuatan yang ada.
Karena itu, kalau kita masih ricuh, riuh, ribut sendiri, berdebat antara Cebong vs Kampret, menyebar hoax sana-sini, dengan alasan apapun, termasuk pemilu sekalipun, jangan menyalahkan si ini-si itu. Ambil cermin dan tunjuk muka sendiri: Ya, saya yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Saya ingin jadi Pak Ogah saja… Duduk, ribut, duit. Really? Is that our choice?
*) Tulisan ini diambil dari status Facebook penulisnya. Ditayangkan ulang di sini atas izin yang bersangkutan.
Post A Comment:
0 comments: