Dirinya menjamin insiden pembakaran bendera di Garut menjadi yang terakhir.

Sayap Nahdlatul Ulama (NU), Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sedang disorot. Hal itu terjadi karena anggotanya membakar bendera bertulis aksara Arab yang diduga bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sontak saja insiden itu memicu kontroversi. Sejumlah kelompok masyarakat pun menggelar aksi di daerah, termasuk Jakarta. Mereka menuntut Banser dibubarkan. Lainnya, mereka mendesak proses hukum berjalan terhadap pelaku, termasuk yang paling bertanggung jawab atas Banser: Gus Yaqut.
“Saya akan ikuti proses hukum jika dilaporkan, saya akan hadapi,” kata Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor itu kepada Heru Triyono dan fotografer Wisnu Agung saat ditemui di kawasan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, Kamis (25/9/2018).
Banser merupakan badan otonom di bawah GP Ansor. Gerakan ini berawal dari organisasi bernama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang berdiri pada 1924. Wadah itu didirikan KH Abdul Wahab bersama para pendukungnya. Organisasi itu yang kemudian menjadi GP Ansor sekarang. 
Sore itu, kami bicara di sebuah warung kecil, mengambil tempat di meja paling pojok dekat jendela. Idenya adalah bersantai-santai sambil minum kopi. Tapi Gus Yaqut lebih memilih teh panas. “Kita ini enggak takut, mereka berapa biji sih,” ujar pria berusia 43 bernama tulen Yaqut Cholil Qoumas ini—merespons tekanan terhadap organisasinya.
Saat wawancara, Yaqut tidak mencincang kata-katanya ketika tidak suka akan sesuatu. Alisnya yang tebal langsung bergerak naik saat bicara gagasan khilafah, apalagi HTI. Meski tampak serius, ia kadang bergurau di depan teman-teman Banser yang mengelilinginya. Terkadang suara tawa pecah sekaligus membersihkan suasana dari ketegangan.
Gerakan Pemuda Ansor memang sedang mengikuti acara The 2nd Global Unity Forum di Hotel Marriot, Yogyakarta. Hotel itu tidak jauh dari warung tempat kami wawancara. Selama satu jam lebih, saya menghujani Yaqut pertanyaan soal detail peristiwa pembakaran itu dan arah politik Banser. Berikut tanya jawabnya:

Setelah insiden pembakaran itu, kini muncul petisi bubarkan Banser, bagaimana?
Petisi itu dimainkan kelompok tertentu. Kita enggak mau menanggapi. Pembubaran organisasi ada aturan main, enggak bisa dengan petisi. Kalau layak dibubarkan menurut negara, ya bubarkan saja.
Apakah insiden itu memiliki dampak besar untuk citra Banser?
Tentu. Sebagian publik akan menilai kita dengan isu yang sedang dimainkan, yaitu menistakan agama. Padahal kan tidak. Tidak ada niat sama sekali ke arah sana.
Karena insiden ini, puncak acara Kirab Satu Negeri GP Ansor sampai ditunda, ada kekhawatiran apa?
Rencananya, Jumat (26/10/2018) nanti memang ada apel 70 ribu Banser di Yogya. Akhirnya mundur. Sebagai pimpinan saya khawatir. Bukan takut diserang, kita enggak takut, mereka berapa biji sih? Kita pasti menang lah.
Tapi saya khawatir timbul suasana chaotic. Bayangkan, satu Banser diprovokasi saja dari bus menuju stadion, maka bisa muncul masalah yang tidak perlu. Kita lebih cinta negeri ini ketimbang sekadar ego.
Seperti apa memangnya suasana di internal Banser?
Ya tadi, kalau ngomong egoisme, kita ingin tarung sebenarnya. Karena kita tahu, kita jauh lebih besar dibanding mereka. Kader Ansor itu 4,7 juta. Itu yang terdaftar dalam database kami.
Mereka itu berapa orang sih? Kalau melihat aksinya kan cuma segitu-gitu saja. Kalau kita gerakkan semua Banser, jadi malapetaka buat Indonesia. Kalau enggak mampu mengendalikan amarah, pasti buyar semua.
Begitu susah mengendalikan Banser?
Solidaritas kita ini kuat. Satu teman dipukul, yang lain akan membela. Kita berhitung betul, meski acara (Kirab Satu Negeri) banyak yang mendesak jalan terus, saya putuskan untuk mundur. Saya enggak mau ada kerusuhan melibatkan Banser.
Ya saat ini ada masyarakat yang menilai Banser begitu anarkis, padahal dulu diapresiasi, karena menjaga gereja saat natal dan sebagainya…
Untuk jawab itu kita harus bicara background. Hari santri itu identik dengan NU. Banser ini jadi ujung tombak perlawanan NU terhadap HTI, perlawanan yang amat panjang, sejak 2003.
Nah di tengah hari santri tiba-tiba ada yang mengibarkan bendera HTI. Tentu dong teman-teman emosi--karena sekian tahun kita didik, latih dan diajarkan siapa kawan, siapa lawan. Apalagi ada kesepakatan tak boleh ada pengibaran bendera apapun selain merah putih. Cara provokasinya begitu sistematis. 
Ada bukti bahwa ini sistematis?
Soalnya di 11 titik ada bendera HTI. Polanya ini persis teori perang kota. Kita cari matrik-matriknya dan cocok. Kita tahu siapa ahlinya, tapi sudahlah.
Di Garut kita kecolongan. Untungnya di 10 tempat yang lain kita lebih tertib dan sesuai protap. Protapnya itu, bendera HTI bukan dibakar, melainkan didokumentasikan, dilipat yang baik dan diserahkan ke polisi.
Artinya anggota Banser tetap salah meski alasan mereka bakar bendera itu bukan melecehkan, tapi untuk menyelamatkan kalimat tauhid. Begitu kan yang beredar di media-media…
Karena begini, ketika mengaji di pesantren, memang diajarkan begitu. Kenapa dibakar? Karena dikhawatirkan kalimat tauhid itu akan menjadi sampah. Kalau menemukan potongan ayat Alquran, ya diajari untuk memusnahkan dengan cara disobek-sobek kecil, dikubur atau dibakar—untuk menyelamatkannya.
Tapi ada masyarakat yang tidak sepakat dengan membakarnya dan ini menimbulkan kegaduhan?
Masih debatable soal itu. Makanya kalau mau jadi diskursus agama, mari berdiskusi, tapi jangan jadi diskursus politik. Kalau politik ya ribut terus, enggak akan selesai. Kami meyakini itu bendera HTI dengan bukti-bukti. Kita bisa tunjukkan bahwa itu adalah bendera HTI.
HTI sudah membantah bahwa bendera itu bukanlah milik mereka?
Dalam AD/ART mereka ada bendera itu, kenapa mereka ingkari. Ini khas HTI, yaitu memanipulasi kesadaran publik. Seperti ketika mereka membawa orang-orang untuk datang ke acara mereka.
Mereka bilang ke warga NU yang diundang untuk ziarah Wali Songo, padahal acaranya adalah acara HTI. Nah ini manipulasi namanya.
“Ketika dibubarkan, kita semakin tidak tahu, siapa HTI dan siapa bukan”
Gus Yaqut
Meski Anda bilang manipulatif, tapi semakin lama HTI semakin besar pengaruhnya, sebelum dibubarkan, kenapa?
Karena manipulatif itu. Orang tidak sadar mereka dimanipulasi. Maka, perlawanan-perlawanan yang kita lakukan salah satu targetnya menyadarkan orang-orang yang termanipulasi HTI selama ini.
Banyak kok contohnya yang kemudian kembali. Misalnya Ustaz Ainur Rofiq al-Amin, aktivis HTI, yang sadar ada penyimpangan di dalam HTI dan kemudian keluar.
Perlawanannya seperti terlambat ya, karena HTI terbukti berhasil merebut masjid-masjid NU dan kampus-kampus…
Soal terlambat atau tidak itu soal lain. Bahwa kami merespons dan kemudian menarik kembali kader dan masjid kami, itu juga harus dilihat sebagai hal wajar. Kita tidak menggunakan kekerasan. Hanya memberikan demarkasi terhadap ruang gerak HTI dan memberi penyadaran-penyadaran.
Hikmah peristiwa Garut itu semakin banyak publik yang sadar bahwa itu bukan bendera tauhid, melainkan bendera HTI. Semakin banyak yang tercerahkan juga kan.
HTI menyebut yang dibakar itu bendera Rasullah SAW, yang disebut Ar-Rayah. HTI mengaku tak punya bendera…
Khat atau cara penulisan Arab di bendera HTI itu sudah bagus banget. Saat zaman nabi mana ada khat bagus begitu, enggak ada. Enggak bisa dong itu dibilang sebagai bendera Rasul. Pada zaman Rasul belum ada penulisan modern. Ar-Rayah bisa dilihat di salah satu museum Turki.
Apa sebenarnya yang dikhawatirkan Anda dari HTI?
Karena cita-cita mereka ingin mengubah negara ini menjadi Khilafah Islamiyah, itu saja. Cita-cita ini yang kita tolak.
Caranya bagaimana mewujudkan cita-cita itu, mereka punya senjata?
Untuk merebut enggak harus punya senjata. Mereka bisa melakukan infiltrasi ke pemilik senjata. Itu metodenya.
Merebut itu kan tidak harus dengan jalan perang hari ini. Kita lihat perang dagang yang sering kita dengar antara Amerika dan Cina, apakah pakai senjata? Bukan. Pada akhirnya siapa yang kalah akan tunduk juga.
Yang jadi pertanyaan, kalau benar ingin dirikan khilafah, kenapa orang Indonesia banyak yang tertarik, termasuk warga NU?
Ya mereka memakai cara manipulatif. Itu saya jelaskan tadi. Memang jemaah NU banyak diambil mereka. Kenapa bisa begitu? Pada lain sisi kita lalai dalam merawat jemaah. Sehingga berjarak, dan diambil oleh mereka.

Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas saat ditemui di kawasan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, Kamis (25/9/2018). Wisnu Agung /Beritagar.id
Apakah insiden pembakaran bendera seperti akan menjadi yang terakhir?
Insya Allah ini yang terakhir. Tidak boleh ada kejadian seperti di Garut lagi. Kalau ada pembakaran lagi, pasti mainan orang.
Susah ya mengawasi anggota Banser?
Susah, kan teman-teman bajunya itu beli sendiri. Kita tidak memberikan. Kita hanya memberikan pelatihan dan baiat kesetiaan. Artinya dengan baju-baju Banser itu sangat mungkin orang menyusup. Kita sadar betul itu.
Apa komentar para kiai sepuh NU soal insiden pembakaran ini?
Saya terakhir bertemu dengan Kiai Attabik Ali, pengasuh pesantren Krapyak. Beliau menangis karena Banser jadi objek caci maki. Kiai sepuh tahu apa yang kita lakukan itu menjaga negeri. Kalau Gus Mus meminta saya sabar dan cooling down.
Ada arahan dari Pemerintah kepada Banser?
Kita komunikasi dengan polisi dan Pemerintah. Mereka meminta Kirab Satu Negeri ditunda sampai suasana kondusif. Saya awalnya belum memutuskan menunda atau enggak. Saya bilang, dengan atau tanpa Presiden kami akan jalan terus, kecuali ada pertimbangan keamanan. Akhirnya kita putuskan ditunda. Kira-kira dua minggu.
Gus Yaqut menjawab mengapa bendera HTI dibakar /Beritagar ID
Banser itu dekat ya dengan Pemerintah?
Nah itu yang sering dituduhkan ke kita. Bahwa kita ini netek ke Pemerintah. Kita ini enggak pernah dibantu sama Pemerintah. Orang menyangka, karena kita kelihatan membela Pemerintah, kita dapat privilese. Enggak. Dapat apa kita. Mana ada. Yang ada, kita kritik Pemerintah. Misalnya soal restrukturisasi atas BUMN-BUMN.
Jadi, sebenarnya arah politik Banser itu bagaimana?
Kita ini organisasi non partisan, bukan organisasi politik. Maka kita tidak akan pernah secara institusi berpolitik. Kita tidak berpihak pada siapapun. Baik itu Jokowi atau Prabowo. Tapi secara individual, kader-kader dibebaskan. Di Banser itu ada banyak orang partai, di antaranya PAN dan Gerindra.
PKS?
Enggak ada. Enggak boleh sih, bukan enggak ada. Kalau ada yang PKS akan kita suruh pilih, mau PKS atau Ansor. Karena secara ideologi kita berbeda.
Kenapa ya ada beberapa pemberitaan Banser itu ditolak di beberapa tempat?
Kapan itu? Kita enggak pernah merasakan ditolak. Memang ada kejadian-kejadian di Sumatra. Tapi berakhir dengan tabayun.
Ramai di media sosial juga tentang MUI Sumatera Barat menolak konsep Islam Nusantara yang kerap digaungkan Banser?
Itu yang kemudian kita jelaskan. Islam Nusantara kan bukan paham baru. Melainkan Islam yang adaptif dengan budaya lokal.
Agama Islam kan menyempurnakan akhlak. Ada akhlak Jawa, Sunda, Melayu dan seterusnya. Misalnya, orang dulu kalau ada kematian kumpul-kumpul bakar kemenyan. Setelah Islam datang, tetap ada kumpul-kumpul, tapi disempurnakan dengan membaca kalimat tahlil.
Ada ancaman untuk Anda karena insiden pembakaran bendera itu?
Banyak. Mereka sudah mulai menyasar wilayah privat. Misalnya keluarga. Tapi kita enggak khawatir. Ada info saya dikabarkan dikawal ke mana-mana, bahkan kamar mandi. Saya ketawa saja. Jaringan teroris juga tidak menyorot insiden ini. Saya dapat info itu.
Itu juga yang dikhawatirkan ya, teroris yang tersinggung atas insiden tersebut…
Begini. Ada cerita dari saya. Sehari sebelum pembubaran HTI, saya dipanggil petinggi dan dapat bocoran bahwa HTI akan dibubarkan.
Saya enggak setuju dengan kebijakan itu. Kalau bubar malah makin sulit diidentifikasi. Mereka akan jadi sel bebas. Dan itu terjadi sekarang kan, ketika dibubarkan, kita semakin tidak tahu, siapa HTI dan siapa bukan.
Ketika PKI dibubarkan dan dilarang, mereka tidak muncul lagi kan, kenapa enggak setuju?
PKI bukan hanya dibubarkan dan dilarang, tetapi dibunuh dan dipenjara. Apakah ini akan diterapkan sama terhadap HTI? Enggak bisa. Saya ini muslim, enggak mau sesama muslim diadu. Cara menangani HTI itu yang menurut saya kurang tepat.
Tapi cara Pemerintah sudah tepat dalam penanganan kasus bendera ini?
Ini bukan khas negara. Negara enggak usah jumpa pers. Jumpa pers itu cara politisi. Melarang itu bukan dengan cara menghancurkan, tapi mengajak kembali ke pangkuan, begitu lhoharusnya. Ayo kembali ke merah putih. Bukan menyerang.
Cara itu malah jadi panggung untuk HTI?
Itu dia. Malah jadi pemberitaan.
https://beritagar.id/artikel/bincang/gus-yaqut-kita-enggak-takut-mereka-berapa-biji-sih

Axact

Reksanews

Mengajak setiap pembelajar untuk bersama-sama mempraktikkan jurnalisme yang baik.Tak sekadar teori

Post A Comment:

0 comments: