Lobi Hotel Ciputra, Grogol, Jakarta Barat, sedang ramai. Orang-orang lalu lalang atau sekadar duduk mengobrol dalam kelompok-kelompok kecil.
Seorang pria bertubuh bongsor sedikit menepi dari keramaian. Ia pilih duduk di sebuah sofa pada satu sudut lobi.
Ia tampak kasual dengan celana kargo berpadu kaus merah bergambar badak kebanggaan Ecko UNLTD, jenama fesyen urban asal Amerika Serikat. Bucket hat menutupi kepalanya, menyamarkan rambut yang terurai nyaris menyentuh bahu.
Matanya menekuri layar laptop. Jemarinya sibuk memencet papan ketik. Kadang, dalam jeda mengetik, ia memperbaiki letak kacamatanya.
Tiga puluh menit kemudian, lelaki itu beranjak dari sofa dan menghilang di balik lift. Tak lama berselang, ia kembali ke lobi dengan setelan yang sama sekali berbeda.
Kaus berganti kemeja hijau bermotif batik. Celana kargo berubah lancingan hitam. Bucket hat bertukar peci nasional. Rambutnya terikat rapi. Plus ada kefiyeh putih--semacam syal--yang melingkar di bahu.
Nadirsyah Hosen, pria termaksud, punya dua sisi kontras dalam hidupnya. Ia bergaul dalam iklim intelektual a la Barat nan modern. Di sisi lain, ia tumbuh dalam langgam tradisi Islam Nusantara.
Nadir, demikian nama kecilnya, lebih dari 13 tahun berkarier di Australia. Pria kelahiran 8 Desember 1973 itu merupakan satu-satunya orang Indonesia yang jadi dosen tetap di Fakultas Hukum Monash University, Melbourne, Australia.
Pada sisi lain, Nadir dikenal sebagai salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi muslim tradisional dan terbesar di Indonesia. Sejak 2005, ia pegang amanah sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU Australia-New Zealand.
"Terserah mau panggil Gus atau Prof. Di Australia, tradisi intelektualnya egaliter, jadi panggil nama pun enggak masalah," kata Nadir, saat kami menanyakan pilihan sapaan yang sedap di telinganya.
Hari itu, 2 Juni 2018 atau 17 Ramadan 1439 H, Nadir dapat undangan mengisi ceramah dalam hajatan Ramadan Ceria Bersama BCA di Hotel Ciputra.
"Bayarin tiket saya (dari Australia) mahal loh. Saya ini (penceramah) paket mahal, bukan paket hemat," kelakar Nadir. "Jadi saya ini NU, Nunggu Undangan."
Lebih kurang satu jam, Nadir mengobrol dengan Fajar W. Hermawan, Muammar Fikrie, dan fotografer, Wisnu Agung Prasetyo. Ia bercerita tentang karier akademik, pengaruh keluarga, hingga perihal keislaman di era media sosial.
Nasab intelektual muslim
Garis nasab Nadir menunjukkan kelahiran para pemikir Islam beda generasi.
Garis nasab Nadir menunjukkan kelahiran para pemikir Islam beda generasi.
Kakeknya, KH Hosen, ulama dan saudagar berdarah Bugis, merupakan pendiri Mu'awanatul Khair Arabische School di Tanjung Karang, Lampung, awal abad ke-20.
Ayah Nadir, Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ahli fikih kenamaan, dan pernah menjabat Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama dua dekade (1981-2000).
Tokoh yang berpulang pada 2001 itu sempat jadi rektor IAIN Palembang, dan menyandang gelar guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta—kini UIN Syarif Hidayatullah.
Pun, Ibrahim tercatat sebagai pendiri dua institusi pendidikan agama di Jakarta: Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (Institut PTIQ, 1971) dan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ, 1977).
Institut yang disebut terakhir menyimpan kenangan khusus bagi Nadir berkenaan sosok ayahnya.
Alkisah, Nadir pernah menemani Ibrahim berceramah di hadapan mahasiswi IIQ. Saat ceramah, Ibrahim berpesan kepada para mahasiswi agar tak sekolah ke Barat.
Ibrahim, kata Nadir, punya kecenderungan anti-Barat--merujuk stereotip Barat terhadap Islam: sarat kekerasan, merendahkan perempuan, ketinggalan zaman, dan serangkaian stigma lain.
Lepas ceramah, Nadir mempertanyakan pernyataan ayahnya. Jawaban sang ayah bisa menenangkan si bungsu yang memang telah menyimpan keinginan studi ke luar negeri.
“Itu kan untuk mahasiswi. Kalau kamu boleh. Abah percaya kamu enggak akan goyah. Taklukan Barat. Belajar dan ajarkan Islam di Barat. Tembus jantung peradaban itu,” kenang Nadir menirukan perkataan Ayahnya.
Ibrahim pula yang menyarankan Nadir agar tak sekadar menjadi ahli fikih atau terpusat pada satu bidang keilmuan. Kelak, Nadir mengembangkan penguasaan keilmuannya atas hukum umum.
Relasi Ibrahim-Nadir tak sekadar bapak-anak tetapi juga kiai-santri. Tradisi nyantri--proses mengabdi dan berbakti serta belajar dari seorang kiai--merupakan salah satu tipikal pendidikan khas a la NU.
“Saya banyak belajar (nyantri) itu dengan abah. Kadang juga dititipkan ke teman-teman abah,” katanya.
Ia juga menyebut mendiang KH. Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal (2005-2016), sebagai salah satu gurunya. “Waktu beliau belum buat Pesantren Darus Sunnah (Jakarta), saya termasuk di antara santrinya yang pertama."
Lepas lulus dari Fakultas Syariah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nadir mulai mengejar mimpi "menaklukkan Barat" dan menceburkan diri ke dunia kesarjanaan (scholars).
Ia beroleh gelar magister dari dua kampus berbeda di Australia: Master of Arts (studi Islam) di University of New England dan Master of Laws (studi hukum) di Northern Territory University.
Nadir sempat mengajar di IAIN Jakarta setelah lulus studi magister. Namun pekerjaan itu hanya dilakoni selama enam bulan. Ia telanjur haus ilmu, dan dua gelar magister tak cukup mengobati dahaga akademiknya.
Ia melanjutkan studi doktoral di dua kampus: Wollongong University (doktor hukum) dan National University of Singapore (doktor hukum Islam).
Setelah menyabet dua gelar doktor, Nadir sebenarnya bisa saja balik dan mengajar di Indonesia. “Saya disebut putra mahkota. Kata orang, kalau balik, saya bisa jadi rektor IIQ meneruskan abah,” katanya.
Namun isyarat langit berkata lain. Merintis karier akademik di Negeri Kanguru jadi pilihan.
Mula-mula, pada 2005, ia jadi research fellow (peneliti) di Queensland University, Brisbane University.
Pada medio 2007, Wollongong University—tempat Nadir menyelesaikan studi doktoral—membuka lowongan dosen untuk Fakultas Hukum. Ia melamar dan berhasil masuk lewat seleksi ketat.
“Waktu saya tamat (studi doktoral) langsung melamar di Wollongong University, tapi enggak masuk. Di Australia, kita harus membuktikan dulu kiprah kita di luar almamater,” katanya.
Delapan tahun berselang, Nadir hijrah ke Melbourne guna bergabung dengan Monash University. Ia mengibaratkan perpindahan dari Wollongong ke Monash bak proses transfer pemain sepak bola.
Saat Nadir kepincut tawaran Monash, pihak Wollongong justru tak mau kehilangan. Negosiasi berlangsung alot. Dekan Fakultas Hukum Wollongang sempat mengajaknya ngopi dan menawarkan kenaikan gaji serta promosi.
"Di sana, dosen dinilai dari produktivitas menulis publikasi ilmiah level internasional. Itu ikut menentukan peringkat universitas. Kalau seorang dosen pindah, publikasinya ikut bersama dia. Nah, kampus jadi kehilangan itu dan bisa jatuh peringkatnya," ujar Nadir.
Tawaran Wollongong, kata Nadir, "Tak bisa dibilang buruk." Namun, ia ingin membesarkan anak-anaknya di Melbourne, kota yang lebih besar dari Wollongong.
Nadir pun hijrah ke Monash, satu dari lima kampus terbaik di Australia, dan masuk lis 100 universitas terbaik dunia (peringkat 80) versi Times Higher Education--majalah edukasi asal Inggris.
Kini, di Monash, ia berstatus “senior lecturer” dengan spesialisasi hukum Islam.
Berdakwah di media sosial
Di linimasa Twitter, Nadir (@Na_dirs) punya 120 ribu pengikut. Padahal ia baru menggunakan Twitter pada Oktober 2015--kurang dari tiga tahun.
Di linimasa Twitter, Nadir (@Na_dirs) punya 120 ribu pengikut. Padahal ia baru menggunakan Twitter pada Oktober 2015--kurang dari tiga tahun.
Cuitannya tak jauh-jauh dari topik agama, terutama soal tafsir dan hukum Islam. Bila sedang santai, Nadir sesekali berkicau tentang sepak bola atau berguyon dengan kenalan dan para pengikut.
Pria berusia 44 itu menyebut media sosial sebagai “lahan dakwah”. Bila tak digunakan, kata dia, media sosial justru bisa menjadi lahan propaganda dari penyebar kebencian dan kelompok radikal.
Kekhawatiran Nadir beralasan. Paling tidak, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebut ada lebih dari 1.000 akun radikal di media sosial (Mei, 2018).
“Saya melihat aktivitas media sosial itu sudah fardu kifayah—wajib dan baru gugur bila sudah dikerjakan muslim lainnya. Artinya kalau ada yang tidak melakukan, kita berdosa,” ujar penulis buku Islam Yes, Khilafah No! itu.
Nadir kian jadi magnet ketika topik agama mulai mendominasi linimasa Twitter. Lebih-lebih, pada momen jelang Pilkada DKI 2017, yang ditandai dengan menguatnya politik identitas.
Sejak momen politik itu Nadir kerap berhadapan dengan para pembenci (hatters) di media sosial.
Ia dianggap bagian dari pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kandidat yang jadi sasaran empuk dalam kasus penistaan agama—belakangan divonis dua tahun penjara.
“Saya bukan pendukung Ahok. Saya tidak kenal beliau. Justru saya lebih kenal Anies Baswedan, sejak beliau kuliah di Amerika,” ujar Nadir.
Ia mengaku sering membicarakan Ahok--dan terkesan membela--lantaran melihat adanya politisasi Alquran (Al Maidah ayat 51). "Karena ada kubu yang mempolitisasi ayat, saya sebagai akademisi punya kewajiban moral untuk menjelaskan."
Posisi Nadir berbalas celaan dari para pembenci. Ia bahkan pernah dituding sebagai penyebar hoaks.
Dalam kacamata Nadir, tudingan macam itu sekadar isapan jempol. Lagi pula, apalah artinya serangan bermotif politik, bagi seseorang yang mengaku “tak punya kepentingan”.
“Saya enggak peduli Jokowi, atau Ahok, atau Anies, atau Gatot menang. Saya hanya mau menjaga NKRI tidak pecah. Dan Islam di Indonesia tetap rahmatan lil alamin,” ujarnya.
https://beritagar.id/artikel/figur/nadirsyah-hosen-kisah-santri-menaklukkan-barat?fbclid=IwAR1ZGk-nVZmK1Jp6YJT3PGFB0e6sSBfakHQYOe6gKS1VhhmRs_wCNmtNVF4
Post A Comment:
0 comments: