Upaya untuk terus menanamkan kesadaran beragamanan sekaligus melawan ekstremisme tak henti dilakukan. Mewakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Rabu, 21 November 2018, Staf Ahli Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Oman Fathurahman membuka sekaligus menyampaikan keynote speech pada Regional Workshop on Religious Education and Prevention of Violent Extremism in Diverse Societies in Southeast Asia: Lesson Learned and Best Practices.
Disampaikan Oman, Menteri Agama berharap presentasi narasumber dan tanggapan peserta dalam wokrhsop ini dapat mendiskusikan dua hal yang menjadi kebutuhan bersama. Pertama, pengetahuan tentang kekayaan dan keragaman sistem dan materi pendidikan agama di masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara.
“Kedua, rumusan terbaik tentang pendidikan keagamaan yang dapat menghormati dan menghargai keragaman budaya masyarakat di Asia Tenggara sendiri,” ujar dia, atas nama Menteri.
“Kedua hal ini harus menjadi bagian dari kontribusi kita untuk perdamaian dunia,” lanjutnya.
Regional Workshop yang berlangsung di Jakarta ini hasil kerjasama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan United Nations Development Programme (UNDP). Kegiatan ini diikuti 300 peserta dari negara-negara se Asia Tenggara, terdiri dari unsur pemerintah, pendidik, peneliti, dan milenial.
Menurut Menag, fakta empirik dan penelitian akademis menunjukkan bahwa pemahaman keagamaan generasi milenial ini juga cukup rentan terpengaruh oleh tafsir keagamaan yang ekstrim, serta tafsir yang kurang menghargai perbedaan dan keragaman. Hal ini terjadi akibat terbukanya sistem informasi dan media sosial, sehingga para pemuda generasi milenial tak jarang menerima dan melahap begitu saja informasi yang keliru dan bahkan menyesatkan.
Menag menduga, fenomena ini bukan terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara lain di Asia Tenggara, dan bahkan merupakan fenomena global. Jika tidak difikirkan bersama, kondisi ini tentu akan sangat membahayakan upaya-upaya perdamaian, terutama karena Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya, terdiri dari masyarakat yang sangat plural dan multikultural: beragam etnis, budaya, bahasa, dan agama, serta dengan demikian juga berarti berbeda pandangan dan kepentingan.
“Saya sangat percaya bahwa salah satu solusi untuk mengatasi problematika di atas adalah melalui penyediaan materi dan sistem pendidikan keagamaan yang baik, yakni pendidikan keagamaan yang dapat merekatkan jarak perbedaan, pendidikan keagamaan yang mampu menyatukan kelompok mayoritas dan minoritas, serta pendidikan keagamaan yang tidak mempertentangkan antara nilai-nilai prinsipil agama dengan kearifan lokal budaya,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Menag menyambut baik kegiatan Regional Workshop on Religious Education and Prevention of Violent Extremism in Diverse Societies in Southeast Asia: Lesson Learned and Best Practices, yang dinisiasi oleh PPIM dan UNDP. Menag percaya, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Karenanya, pendidikan agama sudah seharusnya menciptakan kedamaian, harmonis, rukun, dan hidup bersama bersatu dalam keragaman (unity in diversity). (kemenag)
Post A Comment:
0 comments: