Noorca Massardi dalam pementasan dramatic reading Growong, Teater Arena, TIM, 3-4 Juli 1987 |
(Catatan untuk Diskusi Federasi Teater Indonesia, TIM, Senin 26 Desember 2016)
Oleh Noorca M. Massardi*
Haruskah teater bertanggungjawab? Mengapa? Kepada siapa? Lagian untuk apa? Bukankah pertanggungjawaban itu, bila ada, pertama-tama haruslah datang dari, oleh, dan untuk para pekerja teater sendiri? Mengapa mereka mau-maunya mempertaruhkan jasmani, rohani, akal, budi, rasa, imajinasi, dan seleranya sendiri semata-mata untuk teater? Apakah demi mewujudkan cita-cita luhur untuk mengabdikan diri kepada salah satu cabang kesenian yang bernama teater? Apakah untuk mengekspresikan diri agar lebih lengkap dan bermakna ketimbang melalui enam cabang kesenian lainnya? Apakah karena ingin menjadi seorang atau sekelompok idealis yang tak peduli pada godaan harta benda dan jabatan? Apakah karena hanya melalui teater orang bisa melakukan terapi terhadap kekurangan atau kelebihan diri dibanding orang lain dan masyarakat sekitar? Apakah karena teater lebih peduli kepada alam dan lingkungan masyarakatnya ketimbang kesenian lain?
Apakah karena hanya teater yang mampu memberikan panggung secara langsung dan seketika ketimbang seni pertunjukan lain? Ataukah karena hanya teater yang menjanjikan latihan jasmani dan rohani secara keras, ketat, penuh pengorbanan, namun hanya tampil beberapa hari, dengan imbalan yang tak seberapa? Ataukah teater semata untuk mencari perhatian, sekadar eksis, dan bahkan pencitraan? Atau teater merupakan batu loncatan untuk berpindah ke cabang kesenian lain, seperti film, atau bahkan panggung politik praktis? Atau karena teater sulit mendapatkan tempat dan perhatian dari kritik dan peliputan media massa sehingga dengan terjun di dalamnya orang akan merasa menjadi bagian dari komunitas yang ekslusif karena tidak ikut dan tidak berada di dalam arus utama?
Apakah karena teater tidak banyak diminati para sponsor dan maesenas sehingga harus berjalan dan berkembang tertatih-tatih dan karena itu menjanjikan kemandirian dan ketahanan banting lebih dari kesenian lain? Atau karena dengan teater orang bisa lebih mencurahkan perhatian kepada diri sendiri bahkan setiap kali menikmati penyiksaan diri yang ekstasenya mungkin lebih nikmat dan lebih lama ketimbang mengonsumsi narkoba? Atau karena para pemain dan pekerjanya tidak pernah bisa lengkap karena masing-masing lebih mementingkan kesibukan dan kehidupan pribadinya demi anak istri dan keluarga ketimbang harus latihan dan disiplin menaati jadwal?
Renny Djajoesman dalam pementasan dramatic reading Growong, Teater Arena, TIM, 3-4 Juli 1987 |
Bila serentetan pertanyaan yang lebih dari, oleh dan untuk para pekerja teater itu tidak cukup melahirkan jawaban, atau mungkin juga memang tidak membutuhkan jawaban, apakah hal yang sama harus dipertanyakan kepada orang atau pihak lain? Kepada para penulis lakon yang jumlah dan kualitasnya tidak semakin banyak atau tidak kian membaik? Kepada para calon pekerja teater yang semakin kehilangan gairah karena lebih meminati cabang kesenian lain yang lebih menjanjikan, terutama dari sisi penghasilan, popularitas, penghargaan, bahkan peliputan oleh media massa arus utama atau media sosial?
Kepada para maesenas yang semakin langka karena penanaman modal di cabang kesenian ini mustahil akan bisa impas apalagi menguntungkan? Kepada perusahaan swasta, perusahaan pemerintah baik milik daerah atau milik negara, yang tidak terlalu peduli, kecuali bila para bintang panggungnya adalah mereka yang datang dari pentas yang lebih gemerlap, seperti musik, film dan politik? Kepada media massa arus utama dan bahkan media sosial yang hanya mau mengintip dengan sebelah mata dan amat langka memberikan peliputnya, pewartanya, penulisnya, dan akhirnya ruang dan jam tayangnya untuk kesenian yang disebut teater? Atau kepada para calon penonton mengapa mereka semakin enggan dan kian langka untuk datang ke gedung pertunjukan? Baik karena kurangnya publikasi, karena kurangnya minat menonton, atau karena kurangnya waktu akibat kesibukan diri mencari dan mempertahankan roda kehidupan, atau karena kemacetan di jalan yang semakin meningkat, atau karena buruknya cuaca akibat perubahan ekstrem, atau karena tidak cukup uang untuk membeli tiket, untuk membayar parkir, membeli cemilan serta kudapan, atau karena tidak ada yang mau menemani apakah kekasih atau suami atau istri mengingat dia atau mereka tidak punya minat yang sama terhadap teater, atau karena para pemain dan sutradaranya tidak kenal, tidak dikenal, tidak terkenal, atau karena ceritanya lenje, jayus, kurang piknik, kuno, jadul, tidak berbobot, tidak jelas, absurd, sulit dipahami, dan hanya dimengerti oleh penulis dan kelompoknya sendiri, atau karena penyajiannya dan kemasannya tidak lebih bagus dari sinetron, film televisi, bahkan kalah lucu ketimbang stand up-comedy? Atau kepada para pemilik dan pengelola gedung pertunjukan yang kurang adil dalam berbagi hasil, atau karena biaya sewanya lebih mahal ketimbang penghasilannya dari menjual tiket, atau karena mereka tidak mau menyediakan panggungnya lebih dari tiga hari, atau karena mereka tidak memperbolehkan lingkungan gedungnya dijadikan tempat latihan selama berminggu-minggu apalagi berbulan-bulan?
Suasana latihan pementasan dramatic reading Growong, Teater Arena, TIM, 3-4 Juli 1987 |
Sesudah ratusan pertanyaan yang mungkin tak berjawab atau tak perlu dijawab itu, maka haruskah teater bertanggungjawab? Mengapa? Kepada siapa? Untuk apa? Apakah harus meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Suku Dinas Kesenian, Direktorat Kesenian, Walikota, Bupati, Gubernur, Menteri atau Wapres dan bahkan Presiden? Apakah pemerintah punya atau tidak punya dana untuk membantu atau bahkan memberikan sekadar subsidi bagi teater? Mengapa harus teater? Bukankah ada juga enam cabang kesenian lain yang harus diberikan perhatian? Bukankah ada Seni Musik? Seni Tari? Seni Sastra? Seni Suara? Seni Rupa? Dan seni yang ketujuh yakni Seni Film? Memangnya semua cabang kesenian itu tidak butuh perhatian? Tidak perlu dana? Subsidi? Peliputan? Sponsor? Maesenas? Tempat pertunjukan? Ruang pameran? Tempat latihan? Studio? Arena terbuka? Museum? Promosi? Teknologi? Festival? Calon pekerja? Calon penonton? Calon pembaca? Calon pembeli? Repertoar? Koreografi? Skenario? Peralatan, perlengkapan dan perabotan? Bukankah tujuh cabang kesenian itu juga tidak hanya yang modern, kontemporer, avant garde, atau futuristik, tapi juga ada yang tradisional, atau yang merupakan warisan budaya benda dan takbenda? Apakah semua itu tidak membutuhkan apa dan siapa sebagaimana yang dibutuhkan dan diprasyaratkan seni teater?
Lalu? Kalau semua itu juga tak bergaung dan tak berjawab, kepada siapa lagi harus ditanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya? Kepada para wakil rakyat di tingkat kota/kabupaten? Di tingkat ibukota provinsi? Atau kepada para anggota perwakilan daerah (DPD) di tingkat pusat? Atau kepada para wakil rakyat di tingkat pusat, alias para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat karena dipilih secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali itu? Bukankah para anggota dewan itu adalah para wakil rakyat yang diberi amanah untuk menyusun anggaran, mengawasi jalannya pemerintahan dan terutama mengusulkan, merancang, dan membuat, dan menetapkan segala macam undang-undang demi kepentingan seluruh rakyat tanpa kecuali? Bukankah berkat undang-undang dan anggaran yang mereka tetapkan, maka seluruh mesin dan roda pemerintahan serta seluruh aparatur negara baik di tingkat pusat maupun di daerah bisa bergerak baik lambat atau cepat? Bukankah semua kementerian, lembaga, badan, komisi, tentara dan polisi bisa berjalan, bekerja, bergaji, dan menghasilkan karyanya karena mereka tunduk dan dilindungi oleh pelbagai payung hukum yang hulunya berupa undang-undang yang ditetapkan oleh DPR dan yang mengikat seluruh warga negara serta pegawai negara, termasuk di dalamnya adalah seniman dan di dalamnya lagi ada seni teater dan seniman teater serta para pekerjanya, termasuk yang hari ini mungkin berada di ruangan ini?
Pernahkah ada yang membayangkan, tanpa undang-undang dan tanpa anggaran yang ditetapkan oleh DPR, akankah negara bisa dipelihara, roda pemerintahan bisa bergerak, para pegawai negara bisa bergaji dan bekerja, untuk sebesar-besarnya kemakmuran pejabat, kemakmuran pegawai negara, kemakmuran pengusaha sebelum kemudian kemakmuran rakyat? Lebih khusus lagi, pernahkah ada yang mempertanyakan atau bahkan menggugat, sejak negeri ini merdeka, terutama sejak lebih dari setengah abad ini, mengapa di negara ini hanya ada undang-undang tentang perfilman, yang di muka bumi ini ditetapkan sebagai cabang seni yang ketujuh, tapi tidak pernah ada undang-undang tentang kesusastraan, undang-undang tentang senirupa, undang-undang tentang seni tari, undang-undang tentang seni musik, undang-undang tentang seni suara, dan terutama undang-undang tentang seni teater? Pernahkah ada yang mempertanyakan atau bahkan menggugat, mengapa anomali adanya undang-undang tentang perfilman itu tidak segera dihapuskan saja dari negeri ini? Mengapa hanya seni film yang diistimewakan, sementara sampai dengan hari ini, hasilnya juga tidak terlalu membanggakan baik bagi bangsa maupun negara?
Mengapa payung hukum dan undang-undang seni film tidak digabungkan saja atau dilebur dengan enam cabang seni lainnya, agar ketujuh cabang kesenian itu secara adil mendapatkan payung hukum, perhatian dan anggaran yang kurang lebih sama dari negara dan pemerintah? Bukankah cukup dengan sebuah undang-undang tentang kesenian, maka seluruh cabang seni kita akan bisa dilindungi, dikembangkan, ditumbuhkan, dididik, dipromosikan, difestivalkan, diindustrikan, secara ajeg dan berkesinambungan? Bukankah hanya melalui sebuah undang-undang maka DPR dapat menetapkan anggaran untuk kesenian? Sehingga, baik negara atau pemerintah maupun masyarakat kesenian, baik pekerja maupun penikmatnya, akan terikat dan mengikatkan diri, untuk mendapatkan pelbagai kemudahan, serta memiliki hak, dan kewajiban yang sama, terutama untuk memajukan kesenian. Sehingga, seluruh pemangku kepentingan kesenian yang diatur dan ditetapkan undang-undang, akan memperoleh perhatian, anggaran, hasil dan perlindungan yang sama, sesuai maksud dan tujuan yang diuraikan dan ditetapkan di dalam setiap pasal dan ayatnya.
Maka siapa pun yang melanggar atau mengabaikan atau melalaikan dengan sengaja atau tidak sengaja, baik seluruh maupun sebagian ketentuan undang-undang tentang kesenian, baik lembaga maupun perseorangan, akan mendapatkan sanksi pidana maupun perdata. Termasuk teater dan seluruh pekerja yang terlibat di dalamnya. Karena teater adalah salah satu pilar utama dari tujuh cabang kesenian yang ada, yang harus ikut memperjuangkan terwujudnya undang-undang tentang kesenian. Termasuk harus ikut terlibat di dalam perancangan dan pembuatan naskah akademiknya, yang menjadi landasan bagi pembuatan undang-undang tentang kesenian. Itukah tanggungjawab dan panggung yang bisa menjawab ratusan pertanyaan tentang teater dan para pekerjanya tadi? Ya, iyalah, bro…!
*Tulisan ini dikutip dari situs kebudayaan, Kemendikbud. Dimuat atas izin penulisnya.
Post A Comment:
0 comments: