Setelah Student Movement in Indonesia: they forced them to be violent, yang mendapatkan penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik dalam Asia Pacific Film Festival ke-47 di Seoul (Oktober 2002), tak bisa disangkal, film Pantjasila, Cita-cita dan Realita, merupakan karya masterpiece Tino. Bukan hanya karena ia meraih beberapa penghargaan seperti Apresiasi Film Indonesia (2016), Piala Maya (2016) dan Usmar Ismail Awards (2017), tetapi juga karena gagasan Panca Sila, itu sungguh-sungguh menjadi ideologi dan pegangan hidup Tino Saroengallo, sejak remaja hingga dewasa, sampai ketika akhirnya ia dipanggil Allah Swt pada hari Jumat, 27 Juli 2018, hanya dua pekan setelah ia merayakan hari lahirnya yang ke-60 tahun, pada 10 Juli 2018.

Peredaran dan penayangan film "PCR" baik di bioskop umum maupun di sejumlah kampus dan komunitas, berlangsung bersamaan dengan proses pengobatan Tino di Singapura dan Jakarta.

Suatu hari, sekitar Agustus 2017, Tino menelepon saya, minta ketemu. Karena kebetulan saya dan istri saya Rayni N. Massardi ada agenda press-screening film Hollywood di Epicentrum XXI, kami pun janji bertemu di Epicentrum Walk, Kuningan. Tino ternyata sudah datang lebih dulu dan menunggu kami di café Daily Bread, tempat pertemuan yang sudah kami sepakati.

“Noor, gue mau bikin buku. Tapi elu yang jadi editornya,” kata Tino, tanpa menanyakan apakah saya bersedia atau tidak.
“Buku apaan, Tin?”
“Gue mau kumpulin semua “lepehan” gue di facebook dan media sosial lainnya, dari tahun 2010-an sampai sekarang,” kata Tino.
“Wah, berapa panjang itu? Pasti banyak sekali…!” kata saya.
“Iya, tapi, itu masih campur aduk. Harus dipilah-pilah dan dikategorisasi dulu. Karena gue ngoceh tentang apa saja. Mulai dari film, produksi film, resensi film, resensi buku, tentang sopir taksi, catatan perjalanan, politik, cerpen, puisi, termasuk tentang para manusia taik dan anjing kudis…!” katanya sambil menyeringai ngehek.
“Tungu dulu. Kalau itu terus terang gue enggak sanggup. Gue sekarang lagi nulis novel yang belum kelar-kelar. Mendingan lu gue kenalin sama Maman Gantra. Dia jago untuk urusan itu,” kata saya.
“Ya, udah. Terserah lu. Gue percaya kalau lu yang rekomendasi. Tapi lu tetap yang ngeditnya, ya…!” katanya.
“Okeh. Enggak apa-apa. Insya Allah,” kata saya sambil memberikan nomer kontak Maman Gantra.
“Terus kapan rencana terbitnya? Biar ada patokan dead-line,” kata saya.
“Kalau bisa sih tahun depan, 2018,” katanya.
“Eh, ngomong-ngomong, ulang tahun lu kapan?”
“Tanggal 10 Juli nanti gue 60 tahun…!”
“Wah, sudah tua bangka juga lu ya…?”
“Sialan…! Lu yang lebih tua dari gue tauk…!”
“Kalau gitu, target kita 10 Juli 2018 peluncurannya, ya. Bagus sebagai penanda ulang tahun lu yang ke-60. Keren, tuh…!” kata saya.

Usai urusan buku, Tino cerita ihwal apa penyakit yang dideritanya, dan bagaimana proses pengobatan yang sudah dan harus dia jalani, baik di Jakarta maupun di Singapura.
Pada hari pertemuan itu, Tino baru pulang berobat di Singapura dan tampaknya ada sedikit kemajuan, kendati ke mana-mana ia harus menggendong tas penampung urine, serta memakai tongkat.
Saya merasa prihatin melihat kondisi si “Belanda Gila” yang sudah saya kenal sejak zaman GRJS Bulungan awal 1970-an, dan masih bercelana pendek itu. Namun, mendengar dan membaca semangatnya untuk terus menulis, termasuk catatan perjalanan medisnya yang setiap saat ia bagikan di WA, saya juga kagum pada kenekadan dan keberaniannya menanggung derita di meja operasi. Tapi, apakah ia akan mampu mengumpulkan dan menerbitkan buku yang dicita-citakannya itu sesuai jadwal? Wallauhualam.
Selesai ngopi, ternyata Tino berminat untuk ikut press-screening yang kami selenggarakan. Ia pun menelepon istrinya, Dhama, dan mengajaknya nonton sekalian menjemputnya.
Awal November 2017, saya ke Bali untuk melanjutkan menulis novel yang masih terbengkalai karena urusan “duniawi.” Baru beberapa hari ancang-ancang dan siap-siap mengetik, tiba-tiba saya menerima notifikasi dari Maman Gantra dan Tino. Mereka mengabarkan baru mengirimkan email naskah berjudul “Meludah dengan Kata.” Judul itu merupakan hasil kompromi saya dengan Tino, yang semula mengajukan judul yang lebih sinis dan sarkastik serta “Tino Banget.”
Ketika membuka email itu, saya sangat terkejut. Ternyata Kang Maman mengirimkan naskah “Meludah dengan Kata” yang kami singkat jadi “MDK” sebanyak tiga jilid. Setiap jilidnya berkisar antara 400 sampai 500 halaman komputer ukuran A4. Semua sudah terpilah dan terkategorisasi dengan cukup baik. Sungguh dahsyat! Dan, saya sangat kagum pada kemampuan Kang Maman yang dalam tempo singkat berhasil mengaduk-aduk lebih dari 5.000 items tulisan, dan mengkompilasinya menjadi seperti itu.
Akhirnya, argometer di Bali yang semula untuk novel, itu saya alihkan dan fokuskan untuk mengedit MDK-1. Terutama karena mengingat kondisi Tino yang semakin buruk, sebagaimana ia sering laporkan melalui WA.
Pada 18 November 2017, saya kirimkan hasil editing saya kepada Tino, agar bisa lebih cepat diproses, karena Tino juga sudah menghubungi beberapa pihak yang konon menjanjikan akan membantu mensponsori penerbitan buku-buku itu.
Dalam pengantar email itu saya menulis begini:

gila.
seminggu di bali bukannya nulis novel baru malah melototin dan ngoreksi huruf demi huruf draft buku yang enggak jelas ini.
toh, dari draft ini gue baru tahu ternyata:
1.    bule gila ini bisa juga nulis yang baik dan bener
2.    banyak juga nonton film yang bener-bener bagus
3.    penilaiannya hampir sama dengan pendapatku untuk hampir semua film yang
pernah aku tonton (asing maupun nasional)
4.    masih tetep gila
udah ya gue mau nulis novel dulu, 
argo jalan terus nih di bali.
draft mdk 2 dan mdk 3 lain waktu lagi ya

Sejak itu, saya tidak pernah berjumpa langsung dengan Tino. Pelbagai kabar tentang dia saya baca dan terima melalui WA. Tino juga rupanya sudah menonaktifkan akunnya di fb. Dia sempat meminta saya menyunting MDK-3 dulu karena baru kemudian MDK-2. Saya hanya bilang oke, dan karena kesibukan, belum lagi membuka kedua file itu. Sampai tahun berlalu dan memasuki 2018, saya belum menerima kabar dari Tino bagaimana nasib MDK-1 yang sudah saya kirim. Ia hanya mengatakan sedang menyusun foto-foto yang sesuai dengan teks. Saya sempat mengingatkan agar menyangkut satu dua nama, sebaiknya diperhalus agar tidak menimbulkan perkara hukum, mengingat begitu mudahnya orang melaporkan unggahan di media sosial dengan menggunakan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik No 19/2016. Tino pun mengiyakan. Tino juga mengabarkan akan menjalani kemo lebih dari 30 kali di Jakarta, karena ternyata "sel-sel nakal" (istilah Tino) yang semula di kandung kemih itu sudah menjalar ke bagian tubuh lainnya.

Pada Juni 2018, saat akhir Ramadhan, saya mendengar kabar Tino dirawat di rumah sakit. Saya belum sempat membesuknya, karena kebetulan baru diundang dan ditraktir putri sulung kami, Cassandra Massardi dan suaminya Bramasta Juan Sasongko, untuk liburan selama 15 hari. Kami pun berlebaran di Paris, dalam perjalanan napak-tilas, setelah 18 tahun tidak pernah "mudik" ke Paris. Lanjut ke Bali dan baru sampai Jakarta tanggal 2 Juli.
Pada 3 Juli, seorang sahabat mengabarkan kondisi Tino memburuk dan tengah dirawat di RS Pondok Indah. Kabarnya Tino memaksa minta pulang dari rumah sakit. Baru pada Rabu 4 Juli sore, kami bisa datang ke rumahnya, di Bintaro Paradis, 30 menit dari rumah kami di Bintaro 9, karena hari itu Tino diizinkan pulang.
Setelah sekian lama tidak berjumpa, melihat kondisi Tino di kursi rodanya, kami merasa sangat prihatin. Tubuhnya tampak susut. Duduk di atas kursi rodanya, infus makanan tergantung di atasnya. Sementara lambungnya tampak menggembung dengan dua selang eksternal untuk urine dan pembuangan. Tapi saat itu Tino tampak tengah merokok Bentoel Biru, kretek teman hidupnya, menjelang habis sebatang.
"Wah, sudah boleh merokok nih...?!" kata saya menyapa dan menyalaminya.
"Lu kayak gak pernah lihat gua ngerokok aja...!" kata Tino sambil mematikan rokoknya di asbak.
Saat itu, saya, dan Rayni, ditemani Tace, staf pribadinya, dan Mas Bagjo Indrijanto, sahabatnya. Sementara Dhama, istrinya, kemudian masuk ke dalam rumah, membiarkan kami mengobrol.
"Iya, gue lihat di fb. Gue heran juga kalian bisa kembali ke Paris...!" kata Tino ketika kami mengabarkan baru bisa datang karena ditarktir liburan oleh Cassandra (Kasih). "Hebat juga anak itu. Mungkin si Kasih bosen lihat kalian bolak-balik ke Bali melulu. Kalau mau berjemur, di sini aja, di teras rumah gua juga bisa...!" kata Tino sambil tertawa.
Tino kemudian membahas ihwal rencana penerbitan bukunya. Lalu Tace diminta membawakan dummy buku Dongeng Produksi Film (Asing) Dari Sudut Pandang Manager Produksi, dan Meludah dengan Kata - 1 Tentang Film dan Perfilman - yang sudah lama selesai saya edit itu. Ukurannya masih A4. Rupanya itu merupakan cetak langsung dari draft naskah yang sudah disusun Tino dalam format pdf.
Tino mengeluhkan ihwal penerbit yang semula siap, tapi karena tidak ada kecocokan, terutama karena tidak mampu menghubungi calon sponsor yang disodorkan, akhirnya diputuskan Tino untuk diterbitkan sendiri. Dummy buku itu dicetak oleh rekanannya, yang siap mengubah ukuran dari A4 menjadi B5, tanpa mendesain ulang. Rencananya, akan dicetak terbatas dulu @ 100 eksemplar.
Ketika saya membuka-buka dummy itu saya terkejut saat membaca riwayat hidup Tino yang mencantumkan tanggal lahirnya, 10 Juli 1958. Artinya, tinggal enam hari lagi dari hari itu. Saya pun teringat rencana awal dulu untuk menerbitkan semua bukunya pas hut Tino yang ke-60.
Mengingat kondisi Tino saat itu, dalam hati saya yakin anytime bisa dipanggil menghadap Tuhan, saya pun penuh semangat mengingatkan ihwal rencana itu. Tino pun rupanya menyadari hal itu, dan langsung mengiyakan.
Dalam pembicaraan singkat itu, intinya Tino setuju launching kedua buku itu, pada Selasa, 10 Juli 2018, menandai HUT nya yang ke-60. Kami pun sepakat acara dilakukan di rumahnya, di teras depan, dan hanya mengundang sejumlah teman dekatnya.
"Herry sudah siap mencetak @ 100 eksemplar," kata Tino, sambil memberikan nomer telepon Herry.
"Siapa lagi yang bisa gue hubungi untuk urusan teknisnya? Icang? Abdul?" kata saya.
"Iya, Icang S Tisnamiharja dan Abdul bisa. Lu kontak juga Bude Dotty, untuk urusan buku itu," kata Tino sambil memberikan nomer kontak mereka bertiga.
"Kemungkinan tanggal 10 Juli itu gue sudah di ruang operasi. Tapi lanjut aja. Apa pun yang terjadi. Kan dari rumah sakit kita bisa kontak melalui video call," kata Tino.
"Siap, bro...! Cepat sembuh, ya...! Gue mau ngebut edit MDK-2 dan MDK-3 sekaligus ya, bro...!"
"Oke, ngebut ya. Trims Noor...!" kata Tino.
Karena tak mau mengganggu lebih lama, kami pun pamit pulang. Dengan kursi rodanya Tace mendorong Tino ke dalam, dan ia ditinggalkan di ruang tamu menghadap rak-rak rumahnya, menunggu hingga saat dipindahkan ke ranjangnya di sudut rumah tak jauh dari situ. Dhama masih belum keluar ketika kami pulang menunggu jemputan taksi online.
Malam harinya saya mengirim WA ke sejumlah teman dekat, terutama yang tinggal di kawasan Bintaro. Saya agak panik juga mengingat hanya punya waktu lima hari kerja. Apakah buku bisa siap? Kalau buku Dongeng Produksi Film (Asing) Dari Sudut Pandang Manager Produksi, memang tengah diproses re-sizing-nya jadi B5. Tapi Meludah dengan Kata - 1 Tentang Film dan Perfilman belum diapa-apain.
Sepanjang perjalanan saya kontak Icang dan Abdul. Mereka menjawab siap. Saya hubungi Mas Herry percetakan yang belum pernah saya kenal. Dia menjawab siap untuk yang Dongeng, tapi belum berani janji untuk yang MDK-1. Saya kontak Mbak Dotty yang juga belum pernah saya kenal. Saya jelaskan semua permasalahan dan rencananya. Tapi, kendati hal-hal teknis mungkin bisa teratasi, tapi bagaimana reaksi teman-teman dekat Tino yang juga saya kenal? Saya harus sounding kemungkinannya. Malam hari, setiba di rumah saya kirim WA ke beberapa orang. Kalau menurut mereka oke, kita jalan. Tapi kalau tidak, terpaksa kita batalkan.

Dear All
Selasa 10 juli 2018 sahabat/kerabat/saudara kita Tino Saroengallo genap 60 tahun. Tino ingin merayakan di rumahnya (Kompleks Bintaro Paradis Kav 6, Bintaro Jaya) dgn meluncurkan 2 (dua) buku yg ditulisnya tentang produksi film dan pengalamannya di dunia film/teater/sastra/jurnalistik. Kedua buku tsb akan dicetak khusus @ 100 exp dan dijual dgn harga pengganti biaya cetak. Namun mengingat kondisi kesehatan Tino yg mungkin harus menjalani operasi berat pada hari-hari itu, Tino berpesan apa pun yg terjadi, acr tsb hrs ttp berjalan. Apakah Anda berkenan berperanserta dlm acr tsb? Baik dlm bentuk kehadiran/narasumber/mendoakan dll sebagai tanda cintakasih kita kpd Tino? Mohon saran/masukkan segera. Salam hangat. (Noorca M. Massardi - HP/WA: 081386075657)
(INI BUKAN UNDANGAN MOHON JANGAN DISEBAR DULU!!!)

Sejumlah teman menyanggupi dan siap berperanserta. Tapi ada yang langsung panik menjawab jangan. "Kami lagi konsentrasi menggalang pendanaan untuk biaya rumah sakit yang tidak kecil. Lebih baik tunda sampai kondisi TS lebih baik dan lebih jelas," katanya.
Saya meminta Mbak Dotty mengkoordinasikan semuanya. Tenda, kursi, soundsystem, dan catering. Juga mengundang teman jaringan Tino yang tidak saya kenal. Saya hanya menyanggupi mengundang komunitas Bulungan dan teman-teman media. "Kalau jaringan Tino diundang seindonesia pasti datang," kata Mbak Dotty.
Sambil berkomunikasi ihwal rencana mendoa, launching buku, dan HUT Tino 10 Juli, itu saya langsung mengedit naskah MDK-2 yang sudah lama tidak saya buka. Siapa tahu masih bisa mengejar jadwal cetak.

Kamis pagi, 5 Juli, saya mendapat kabar Tino dilarikan kembali ke RSPI. Kondisinya memburuk. Karena sudah mendapat amanah "apa pun yang terjadi acara jalan terus" dari Tino, saya tetap fokus pada rencana itu. Siang hari, karena tidak enak kalau tidak meminta izin kepada Dhama, istrinya Tino, saya mengirim WA menanyakan jam berapa sebaiknya acara dilakukan. Siang sore atau malam?
Dhama terkejut. Tino tidak pernah memberitahukan soal rencana HUT dan launching buku pada 10 Juli di rumah itu. Tapi kalau mau lanjut, sebaiknya di tempat lain. "Karena saya lebih memprioritaskan kesehatannya ketimbang HUT atau launching buku," kata Dhama.

Saya juga kaget oleh jawaban itu. Lalu saya jelaskan tentang pertemuan awal sekali dengan Tino Agustus tahun lalu, ketika Tino meminta saya mengedit bukunya, dan kesepakatan kami untuk launching pas HUT Tino yang ke-60. Saya kemudian kontak Mbak Dotty dan melaporkan.
"Memang sebelumnya tidak pernah membicarakan soal ini dengan Bu Dhama?" kata Dotty. "Belum." "Saya sudah menduga hal itu. Jadi, sebaiknya Bu Dhama saja yang putuskan," kata Dotty.
Siang harinya Dhama kirim WA. "Barusan saya obrol sama Tino, acara itu bisa dimundurin setelah dia pulih. Gak harus jadi target teman2 ya, Mas."
Saya pun pasrah. Apalagi hari itu Tino siap dioperasi. Lalu saya mengabarkan kepada teman-teman yang pernah saya kirimi WA:

dear all, 
sehubungan sikon sdr/sahabat/kerabat kita Tino Saroengallo yg kritis di RSPI, dan setelah mbak Dhama bicarakan dgn Tino, maka rencana acara doa/hut/launching buku TS pada Selasa 10 Juli 2018 - DITUNDA - sampai perkembangan lebih lanjut. Salam dan terima kasih atas perhatiannya. (Noorca M. Massardi)

Dan, mengingat kondisi pasca operasi beberapa hari kemudian, semua sahabat disarankan untuk tidak membesuk Tino di RSPI hingga Selasa, 10 Juli. Tepat pada HUT-nya Tino.

Saya pun menghubungi Mbak Dotty, menjelaskan masalahnya, dan saya sepakat untuk membatalkan acara tanggal 10 Juli. Tapi, Mbak Dotty tetap akan mencetak beberapa exp kedua buku itu, untuk disampaikan kepada Tino pada 10 Juli, agar Tino puas keinginannya sedikit tercapai. Walau tidak jadi launching, dua bukunya yang sudah diperbaiki sudah bisa sampai di tangannya.

Pada Selasa, 10 Juli, saya mengirimkan WA:

HBD Tino saudaraku. Semoga Allah swt selalu melindungi dan menyayangimu sekeluarga. Tabah, tawakkal dan ikhlas atas segala cobaanNya. Semoga selalu dilimpahi kesabaran, rezeki, dan kemudahan. Insyaallah amin3.

Sabtu 14 Juli Dhama mengabarkan bahwa karena secara medis tidak ada lagi yang bisa dilakukan tim RSPI, Tino pun dibawa pulang untuk menjalani perawatan di rumah. Karena pelbagai kesibukan, terutama saya masih ngebut menyunting MDK-2, kami baru bisa menengok Tino di rumahnya Kamis, 19 Juli. Kami janjian dengan Leila S. Chudori, untuk membesuknya bersama-sama. Rumah Leila memang tak jauh dari rumah kami. Dan, kami pun bertiga sampai di rumah Tino sore hari.
Namun, Tino ternyata sudah tidak bisa mengenali kami. Hanya bisa menggaruk-garuk tubuh dan menyebut nama seseorang nonstop, dengan pandangan kedua bola mata kosong. Di ruang depan itu, Leila, yang oleh Tino selalu disebutnya sebagai "orang yang telah menjebloskan saya ke dunia audio visual," itu hanya bisa meneteskan air mata melihat kondisi Tino. Saya juga tidak tega melihatnya. Akhirnya, setelah beberapa menit tidak ada perubahan, kami pun pamit.
"Tino dalam fase delirium. Terutama setiap malam. Dia tidak bisa tidur," kata Marinus R. Saroengallo, adik kandung Tino, saat mengantarkan kami keluar rumah.

Setiba di rumah, saya mendoakan, bila memang Allah swt menghendaki, semoga Tino dipanggil pulang esok hari, kebetulan hari Jumat, hari yang baik menurut orang Islam. Dan, setahu saya, Tino sudah mejadi mualaf, sejak menikah dengan Dhama.
Hari-hari terus berlalu. Kondisi Tino belum berubah. Ketika saya menyunting MDK-2 sampai pada sekumpulan puisinya, saya tercenung beberapa saat. Walau Tino bukan penyair, dan karya-karya puisinya ditulis semaunya, tapi ada beberapa puisi tentang kesendiriannya yang mengharukan. Saya minta Rayni untuk membacanya. Rayni langsung meneteskan air mata. Saya juga tak kuasa menahan rasa haru. 
"Kasihan sekali Tino...! Kenapa dia harus menderita seperti itu...? Apa sih rencana Tuhan untuk dia...?" kata Rayni sambil menyeka air matanya.

Kebenarannya…
Apalah arti membanting tulang?
Apalah arti memberi nafkah?
Kalau hanya menghasilkan itu…
Apalah arti karya dan prestasi diri?
Apalah arti kekaguman orang terhadap diri?
Kalau hanya mengakibatkan itu…
Apalah arti pergaulan nan luas?
Apalah arti banyak pertemanan?
Kalau hanya berujung pada itu…
Itu adalah kebencian anak istri…
Itu adalah keluarga yang membenci…
Itu adalah kesendirian dikelilingi kebencian…
Keseharian pun selalu dikepung kebencian…
Kebencian dari mereka yang dikasihi…
Terhadap diri yang selalu kesepian…
Itulah kebenarannya…
Jakarta, 23 Desember 2014
***
Sama Saja…
Sanur,
Setahun di sana,
Pulang menuju sepi,
Kamar hotel meski berteras…
Los Angeles,
Tujuh bulan di sana,
Pulang diterima sunyi,
Kamar tumpangan yang berteras…
Jakarta,
Bertahun di sini,
Pulang disambut kebekuan,
Rumah sendiri yang berteras…
Jalan hidup,
Dengan kesendirian,
Menuju kesendirian,
Tiba di kesendirian.
Akirnya…
Menyatu dengan alam semesta...
Jakarta, 20 Januari 2015
***
Saya melihat kalender di sudut komputer. Kamis tengah malam, menjelang Jumat dinihari, 27 Juli 2018.
Jumat pagi, 27 Juli 2018. Kami terbangun. Ada notifikasi WA dari Dhama:

Pukul 08.29:
Pagi... Kondisi Tino dalam keadaan tidur masih dengan suara gerungan. Tensi pagi ini 65/50. Mulai terdapat pembuluh yang pecah di telapak kaki.

Beberapa saat kemudian, ketika saya tengah bersiap-siap untuk salat Jumat di Masjid Daarut Tauhid, di depan rumah. Masuk lagi WA dari Dhama:
Pukul 10:14: 

Innalillahi wa inna ilaihi roojioun.. Allahummaghfir lahuu warhamhu wa’aafihii wa’fu ‘anhu. Telah meninggal dunia suami/bapak Tino Saroengallo. Jumat, 27 Juli 2018, pukul 09.10. Semoga almarhum husnul khatimah dan Allah swt menerima semua amal ibadah beliau dan mengampuni seluruh kesalahannya.

Selamat jalan sahabatku, saudaraku, semoga husnul khotimah.

Noorca M. Massardi
Legian, Kuta, Kamis, 16 Agustus 2018

https://www.facebook.com/noorca/posts/10217712558953893







Axact

Reksanews

Mengajak setiap pembelajar untuk bersama-sama mempraktikkan jurnalisme yang baik.Tak sekadar teori

Post A Comment:

0 comments: