Sigit Riyanto Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto, menjadi perhatian setelah pasang badan membela kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) yang menggelar diskusi pada Jumat, pekan lalu. Diskusi secara online bertema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Ketatanegaraan" itu akhirnya batal setelah panitia dan narasumber mendapat teror. Sebagian kalangan akademikus bahkan menganggap diskusi itu sebagai gerakan makar.
Sigit pun tak luput dari perundungan. Lulusan master hukum dari Universitas Nottingham dan doktor dari Fakultas Hukum UGM yang berusia 56 tahun ini mendapat berbagai tuduhan. Ia dianggap mencari panggung, berkepentingan untuk maju dalam pemilihan rektor, melanggengkan Islam radikal, menentang pemerintah, hingga mendukung gerakan makar. Namun Sigit bergeming dengan tuduhan-tuduhan itu. "Saya membela kebebasan akademik dan ilmiah," kata Sigit kepada wartawan Tempo, Shinta Maharani, dalam wawancara di kantornya, kemarin.
Ia berpedoman pada konstitusi yang memberikan jaminan kebebasan berpendapat dan standar universal. Menurut dia, perguruan tinggi harus merawat kemandirian dan independensi berlandaskan nilai, tradisi, dan visi kebebasan. Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana awalnya diskusi CLS itu dibuat?
Mahasiswa Fakultas Hukum jumlahnya lebih dari 3.000 orang. Semua mahasiswa masing-masing program studi punya kegiatan akademik maupun non-akademik. Saya harus menyediakan ekosistem pendidikan dan pembelajaran bagi seluruh mahasiswa sebaik-baiknya. Yang penting, syaratnya kegiatan mereka tidak bertentangan dengan hukum, tidak mengganggu ketertiban umum, dan tidak melanggar kesusilaan. Saya mendorong kreativitas dan semangat mereka untuk menimba ilmu dan mempersiapkan diri setelah meninggalkan fakultas. Semuanya saya dukung.
Siapa yang merancang diskusi?
Murni dari mahasiswa. Itu salah satu komunitas hukum tata negara yang ada di strata satu. Mereka merancang diskusi sendiri. Bagi saya, tidak ada yang aneh dan biasa-biasa saja.
Tapi diskusi itu dipersoalkan dan menjadi ramai. Bagaimana sikap Anda?
Mahasiswa membuat poster sepekan sebelum diskusi. Poster itu sebagai informasi untuk kawan-kawan dan siapa pun yang berminat. Kegiatan lain juga begitu dan biasai saja. Ada yang mau menyanyi bareng, pentas seni. Nah, lalu saya mendapat informasi ada yang mempersoalkan poster itu. Tadinya saya tidak intensif mengikutinya, tapi kemudian diskusi itu masuk ke pemberitaan yang sangat masif dan tiba-tiba saya juga mendapat serangan melalui pesan WhatsApp.
Serangannya dalam bentuk apa?
Pesan itu masuk ke grup-grup WA. Intinya ada yang menyebut Sigit Riyanto sedang cari panggung. Beberapa teman juga mengirimkan pesan ke saya tentang informasi yang beredar di media massa dan media sosial. Saya menjadi ingin tahu, kok heboh banget. Wong cuma anak semester dua mau diskusi, kok sepertinya kayak mau mengguncang negara saja. Jadi, sampai sekarang saya berpikir begitu. Lalu saya mencari informasi, sedikit merenung, dan evaluasi apa sih yang sebenarnya terjadi.
Anda tahu pesan itu dari mana?
Itu pesan terusan yang dikirimkan oleh beberapa kawan saya. Tidak tahu asalnya dari mana. Saya menerima pesan itu pada Jumat pagi. Anak saya, yang masih SMA, memberi tahu ada buzzer yang menyerang saya di media sosial.
Respons Anda saat itu…
Kami satu keluarga, saya, istri, dan tiga anak membuat grup WA. Saya menanggapinya biasa saja karena sering berhadapan dengan serangan atau bully. Di dunia medsos seperti sekarang kan itu biasa. Istri saya agak under pressure karena dia punya grup bersama teman-temannya dan reaksi di grup itu tidak seperti yang dia bayangkan. Muncul penghakiman-penghakiman terhadap saya. Akhirnya istri saya enggak menanggapi dan tidak berkomentar.
Istri saya yang banyak menerima telepon dari keluarga. Mereka bilang mendapat info bahwa saya diteror, ikut Islam radikal, dan bergabung dengan kelompok celana cingkrang. Istri saya khawatir orang tua kami akan panik karena mendengar kabar yang berseliweran itu. Tapi orang tua kami melihat saya tenang di televisi jadi lega.
Lalu?
Yang lucu, ada orang yang mengaku dari sebuah instansi di DIY datang ke kampus, katanya diminta seorang pejabat untuk mengklarifikasi. Saat itu, saya tidak di kampus. Dia datang dan berbicara melalui telepon yang disambungkan oleh sekretaris. Saya menyampaikan ke dia bahwa saya sudah buat siaran pers. Dia menanyakan apakah mahasiswa itu akan dijatuhi sanksi. Saya respons, lho, siapa yang bilang ada sanksi. Kata-kata sanksi enggak pernah ada di siaran pers. Saya meluruskan dan menjawab sesuai dengan fakta, tidak ada yang harus disembunyikan.
Mahasiswa komunitas CLS mendapat ancaman pembunuhan. Apa yang Anda lakukan?
Saya membayangkan, kalau sesuatu yang tidak dikehendaki menimpa mahasiswa dan keluarga yang diancam, saya bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka. Saya berinisiatif untuk menghubungi dosen pembina. Saya tanya kontak mahasiswa yang mendapat ancaman pembunuhan. Rupanya handphone panitia diskusi diretas.
Sehari sebelum diskusi, saya sudah mendengar rumor diskusi dibatalkan. Saya berpikir cepat karena ada ancaman pembunuhan. Saya meminta informasi nomor ponsel mahasiswa yang diancam ke teman-teman dosen. Saya menelepon ke nomor baru Anugerah, moderator diskusi, dan yang mengangkat ibunya. Ternyata nomor lama Anugerah diretas untuk memesan makanan jasa ojek online. Akun Instagram-nya juga diretas.
Anda menyediakan rumah aman untuk mahasiswa...
Ya. Saya menawarkan bantuan ke Anugerah dan ibunya agar mereka merasa aman. Saya meminta waktu 30 menit untuk analisis situasi, lalu menelepon wakil dekan bidang aset dan SDM. Saya menempatkan Anugerah di rumah dinas yang tidak saya tempati. Di sana ada satpam yang mengawasi. Saya mengirim kepala kantor, sopir, dan petugas keamanan untuk menjemput Anugerah pada Jumat malam. Saya bilang ke kepala kantor, tolong mahasiswa saya ditenangkan dan tanyakan dia butuh teman atau tidak. Kami berkomunikasi melalui satpam.
Anda terlihat sigap menghadapi situasi seperti ini…
Saya pernah bekerja di wilayah konflik. Pernah menjadi Legal Officer International Committee of the Red Cross dan di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Regional Representative. Saya terbiasa mengintervensi situasi yang sangat ekstrem. Sebenarnya apa yang saya lakukan enggak ada yang luar biasa. Saya mengambil keputusan dan tindakan cermat, tepat waktu, dan terukur karena berkaitan dengan banyak variabel yang harus dihitung. Ada berbagai pertimbangan yang diperhitungkan karena banyak aktor yang terlibat, melibatkan diri, dan ingin ambil bagian dari proses itu. Di internal UGM, relasi UGM di tingkat nasional, dan kontestasi politik, saya sudah memetakan.
Diskusi CLS oleh beberapa kalangan akademikus dianggap sebagai gerakan makar. Bagaimana Anda menjawabnya?
Orang perlu memahami beberapa fakta. Ada orang yang tidak paham dengan kegiatan diskusi, tapi langsung membuat judgement dan disebarkan ke mana-mana. Lalu ada orang yang mungkin tidak tahu dengan diskusi itu, akhirnya mereka itu menggiring opini masyarakat. Karena itu diadakan Fakultas Hukum, orang menganggap saya punya maksud tertentu. Ada yang bilang itu berhubungan dengan pencalonan rektor, panggung politik secara nasional. Padahal saya tidak menjadi bagian dari proses diskusi. Saya tahu di luar sana banyak yang ingin saya membuat pernyataan yang blunder. Ada yang berkepentingan, tapi orang tidak memikirkan bahwa saya harus cuci piring atas situasi itu.
Apa yang membuat Anda membela mahasiswa yang menggelar diskusi itu?
Saya membela kebebasan akademik dan ilmiah. Mahasiswa hukum membahas sesuatu yang relevan dengan topik yang mereka pelajari sebagai orang yang belajar hukum. Itu kan wajar-wajar saja. Mereka belajar dengan cara yang sesuai dengan metode yang berlaku dalam dunia akademik. Mereka menggelar diskusi, mengundang narasumber yang berkompeten, dan diskusi pun melalui daring seperti yang dilakukan banyak orang dalam situasi pandemi.
Diskusi itu adalah sifat atau karakter dari universitas di seluruh dunia. Jadi, tidak perlu ditakutkan atau dilarikan ke konflik politik praktis atau konflik kepentingan. Dunia akademik punya nilai, standar, dan metodologi.
Tapi, oleh sejumlah kalangan, isu pemakzulan dari sudut pandang hukum tata negara tidak relevan dengan situasi pandemi...
Pertama, di tengah situasi pandemi dan tidak pandemi orang berdiskusi enggak ada larangan sepanjang tidak melanggar hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kedua, kalaupun dikaitkan dengan situasi pandemi, kita harus menyadari bahwa pandemi yang terjadi pada skala global tidak cukup hanya dengan resep tunggal kebijakan di bidang tertentu. Ada ekonomi, politik, sosiokultural, dan kesehatan yang terkena dampak. Wacana harus dibuka seluas-luasnya. Pendapat yang berbeda ini bukan untuk mengganggu, tapi justru melengkapi kebijakan yang sudah ada.
Bagaimana Anda mengevaluasi peristiwa yang menimpa mahasiswa Anda?
Peristiwa itu mengakibatkan situasi yang tidak nyaman bagi mahasiswa. Saya melakukan langkah-langkah untuk mengembalikan dan meyakinkan semua mahasiswa bahwa kegiatan seperti itu enggak ada masalah. Saya sebagai penanggung jawab fakultas harus memberikan yang terbaik. Kalau keamanan mereka terancam, saya harus menyelamatkan mereka. Kalau kebebasan mereka untuk melakukan kegiatan akademik terganggu atau terancam, saya harus membantu mereka. Saya ingin orang menjadikan kami, Fakultas Hukum, sebagai rujukan.
Berbicara tentang passion, Anda punya banyak pengalaman di bidang hukum. Mengapa Anda tertarik bergiat di bidang hukum?
Sejak saya dan keluarga punya pengalaman mendapat persekusi.
Apa bentuk persekusi itu?
Di KTP bapak saya, saat zaman Orde Baru, tertulis eks tapol. Bapak saya seorang guru. Seluruh anggota keluarga menderita karena menjadi korban bullying. Saya dan adik-adik saya mengalaminya. Kami empat bersaudara. Bullying itu berlanjut lama. Tapi, pada saat yang sama, itu memotivasi saya untuk belajar tentang keadilan. Setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk masuk fakultas hukum. Saya mulai mendengar berita radio dan membaca koran tentang kasus-kasus hukum dan membuat tertarik untuk belajar hukum.
Persekusi lain yang Anda alami…
Waktu mau masuk UGM, masih zaman Orde Baru, orang harus punya surat keterangan kelakuan baik dan harus mengurus di komando rayon militer dan kantor polisi. Saya enggak dapat. Surat itu syarat untuk diterima di UGM. Saya mengalami hambatan. Tapi saya berusaha untuk mendapatkan surat keterangan itu. Saya harus pindah keluarga atau pindah KTP supaya dapat kesempatan. Saya sampai harus menumpang di salah satu keluarga ibu.
Apa dampaknya?
Ketika saya, adik-adik, dan keluarga mendapat persekusi, itu sesuatu yang berat. Bagi saya agak berat karena saya masih remaja. Belum tahu persis gambaran besar yang terjadi. Itu membuat saya termotivasi untuk melakukan hal-hal baik dan membuktikan melalui prestasi sehingga orang memahami dan percaya untuk menghapus stigma. Kami sekeluarga tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Setelah kuliah, saya tinggal di Yogyakarta. Setelah jadi dosen punya kesempatan bekerja di organisasi internasional, terakhir di UNHCR hingga 2006. Lalu saya kembali ke kampus sepenuhnya.
Lalu Anda membantu orang-orang yang dipersekusi…
Saya pernah bekerja di organisasi internasional menangani konflik dan membantu orang-orang yang dipersekusi. Jadi, saya menjiwai dan memahami rasanya orang menghadapi persekusi. Itu yang menjadi alasan saya bersikap rasional. Tapi saya juga firm ke mana harus berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan. Meskipun saya tahu banyak kepentingan yang menekan, bagi saya, enggak ada kekhawatiran.
Sumber: korantempo