June 2020

Era digital melahirkan era maya. Pun dalam berwisata. Kini, kita cukup membuka internet untuk menikmati keindahan sebuah tempat wisata. Aneka platform menyajikan foto-foto menarik dari berbagai ragam tempat wisata. Mulai dari yang sudah lama dikenal, setengah dikenal, bahkan asing sama sekali.

Salah satu kawasan wisata yang belakangan banyak muncul di internet adalah Kampung Wisata Geopark Ujung Bulu, Dusun Ujung Bulu, Bontolempangan, Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Desa Wisata ini digadang-gadang sebagai "surga tersembunyi yang menyimpan banyak keindahan". Benarkah?

Tidak juga. Terutama dalam hal tersembunyi. Sejak lama, warga Makassar dan sekitarnya mengenal Ujung Bulu sebagai kawasan yang memiliki keelokan alam. Khususnya pegunungan dan gua karst yang banyak berada di sana. "Ketika kecil, tahun 60-an, saya sering diajak kakek ke daerah situ. Menyambangi kerabat yang membuka sawah dan empang di sana. Waktu itu sawah dan empangnya belum banyak," kisah Andi Mudor, 65 tahun, warga Jl. Ratulangi, Makassar. "Sambil menunggu orang menjaring ikan dan memasak, kami main ke gua-gua dan bukit batu yang ada di sekitar sana," tambah Mudor.


Ya, sebagaimana banyak kawasan pedesaan lainnya, Dusun Ujung Bulu didominasi oleh sawah dan empang. Dan inilah keindahannya. Sawah dan empang di latar depan, nu di belakangnya menjulang pebukitan karst khas Maros. 

Tambak alias empang, dengan pematangnya, menjadi pemandangan khas kawasan ini. Terutama sebelum memasuki kawasan pebukitan karst di belakangnya. Jika Anda tengah beruntung, Anda bisa menemukan para petambak dan keluarganya sedang memanen ikan. Kesempatan untuk mendapatkan ikan yang relatif lebih murah dibandingkan membeli di pasar.



Untuk mengunjungi labirin batu yang ada di Ujung Bulu ini, kita perlu berjalan kaki sekitar  5-10 menit dari tempat parkir. Letih karena berjalan kaki terbayar oleh pemandangan unik di sana. Mulai dari bukit-bukit yang mirip candi alam, mulut gua, sampai labirin karst. Semuanya merupakan spot yang tepat untuk berfoto. Baik selfie maupun wefie. 

Lihat saja dua foto di bawah ini:



Era digital melahirkan era maya. Pun dalam berwisata. Kini, kita cukup membuka internet untuk menikmati keindahan sebuah tempat wisata. Aneka platform menyajikan foto-foto menarik dari berbagai ragam tempat wisata. Mulai dari yang sudah lama dikenal, setengah dikenal, bahkan asing sama sekali.

Salah satu kawasan wisata yang belakangan banyak muncul di internet adalah Kampung Wisata Geopark Ujung Bulu, Dusun Ujung Bulu, Bontolempangan, Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Desa Wisata ini digadang-gadang sebagai "surga tersembunyi yang menyimpan banyak keindahan". Benarkah?

Tidak juga. Terutama dalam hal tersembunyi. Sejak lama, warga Makassar dan sekitarnya mengenal Ujung Bulu sebagai kawasan yang memiliki keelokan alam. Khususnya pegunungan dan gua karst yang banyak berada di sana. "Ketika kecil, tahun 60-an, saya sering diajak kakek ke daerah situ. Menyambangi kerabat yang membuka sawah dan empang di sana. Waktu itu sawah dan empangnya belum banyak," kisah Andi Mudor, 65 tahun, warga Jl. Ratulangi, Makassar. "Sambil menunggu orang menjaring ikan dan memasak, kami main ke gua-gua dan bukit batu yang ada di sekitar sana," tambah Mudor.


Ya, sebagaimana banyak kawasan pedesaan lainnya, Dusun Ujung Bulu didominasi oleh sawah dan empang. Dan inilah keindahannya. Sawah dan empang di latar depan, nu di belakangnya menjulang pebukitan karst khas Maros. 

Tambak alias empang, dengan pematangnya, menjadi pemandangan khas kawasan ini. Terutama sebelum memasuki kawasan pebukitan karst di belakangnya. Jika Anda tengah beruntung, Anda bisa menemukan para petambak dan keluarganya sedang memanen ikan. Kesempatan untuk mendapatkan ikan yang relatif lebih murah dibandingkan membeli di pasar.



Untuk mengunjungi labirin batu yang ada di Ujung Bulu ini, kita perlu berjalan kaki sekitar  5-10 menit dari tempat parkir. Letih karena berjalan kaki terbayar oleh pemandangan unik di sana. Mulai dari bukit-bukit yang mirip candi alam, mulut gua, sampai labirin karst. Semuanya merupakan spot yang tepat untuk berfoto. Baik selfie maupun wefie. 

Lihat saja dua foto di bawah ini:



Era digital melahirkan era maya. Pun dalam berwisata. Kini, kita cukup membuka internet untuk menikmati keindahan sebuah tempat wisata. Aneka platform menyajikan foto-foto menarik dari berbagai ragam tempat wisata. Mulai dari yang sudah lama dikenal, setengah dikenal, bahkan asing sama sekali.

Salah satu kawasan wisata yang belakangan banyak muncul di internet adalah Kampung Wisata Geopark Ujung Bulu, Dusun Ujung Bulu, Bontolempangan, Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Desa Wisata ini digadang-gadang sebagai "surga tersembunyi yang menyimpan banyak keindahan". Benarkah?

Tidak juga. Terutama dalam hal tersembunyi. Sejak lama, warga Makassar dan sekitarnya mengenal Ujung Bulu sebagai kawasan yang memiliki keelokan alam. Khususnya pegunungan dan gua karst yang banyak berada di sana. "Ketika kecil, tahun 60-an, saya sering diajak kakek ke daerah situ. Menyambangi kerabat yang membuka sawah dan empang di sana. Waktu itu sawah dan empangnya belum banyak," kisah Andi Mudor, 65 tahun, warga Jl. Ratulangi, Makassar. "Sambil menunggu orang menjaring ikan dan memasak, kami main ke gua-gua dan bukit batu yang ada di sekitar sana," tambah Mudor.


Ya, sebagaimana banyak kawasan pedesaan lainnya, Dusun Ujung Bulu didominasi oleh sawah dan empang. Dan inilah keindahannya. Sawah dan empang di latar depan, nu di belakangnya menjulang pebukitan karst khas Maros. 

Tambak alias empang, dengan pematangnya, menjadi pemandangan khas kawasan ini. Terutama sebelum memasuki kawasan pebukitan karst di belakangnya. Jika Anda tengah beruntung, Anda bisa menemukan para petambak dan keluarganya sedang memanen ikan. Kesempatan untuk mendapatkan ikan yang relatif lebih murah dibandingkan membeli di pasar.



Untuk mengunjungi labirin batu yang ada di Ujung Bulu ini, kita perlu berjalan kaki sekitar  5-10 menit dari tempat parkir. Letih karena berjalan kaki terbayar oleh pemandangan unik di sana. Mulai dari bukit-bukit yang mirip candi alam, mulut gua, sampai labirin karst. Semuanya merupakan spot yang tepat untuk berfoto. Baik selfie maupun wefie. 

Lihat saja dua foto di bawah ini:



Penyidik KPK Novel Baswedan  [istimewa via detik]
Setelah kurang lebih tiga tahun dua bulan, dua pelaku kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan diadili. Mereka dituntut dengan hukuman hukuman 1 tahun penjara. Tuntutan ini dinilai janggal oleh Novel.
Penangkapan kedua pelaku penyiraman Novel tersebut dilakukan hanya berselang 11 hari setelah Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Kedua tersangka pun diadili. Namun, Novel menilai proses persidangan kasus ini janggal dan lucu. 
Berikut ini perjalanan kasus penyiraman air keras terhadap Novel hingga terungkapnya dibacakannya tuntutan terhadap kedua terdakwa.
11 April 2017
Kasus ini berawal ketika Novel baru pulang dari sholat shubuh sekitar pukul 05.10 WIB. Tiba-tiba ada dua orang mendekat dan menyiramkan air keras ke mukanya. Saat itu dia teriak hingga memancing perhatian jamaah Masjid Al-Ikhsan tempat Novel sholat.
12 April 2017
Siraman air keras di mata kiri mengharuskan Novel Baswedan diterbangkan ke Singapura untuk menjalani perawatan. Novel dikabarkan operasi di Singapore General Hospital dan sempat memberi keterangan soal sosok jenderal yang diduga menjadi pelaku teror.
31 Juli 2017
Usai memberi keterangan, polisi meminta Novel melapor dan mengirimkan tim untuk konfirmasi. Setelah itu, Kapolri yang saat itu dijabat Jenderal Tito Karnavian melaporkan perkembangan dan menunjukkan sketsa pelaku pada Presiden Joko Widodo.
24 november 2017
Dua sketsa baru wajah pelaku penyerangan ditunjukkan Kapolda Metro jaya yang saat itu dijabat Inspektur Jenderal Idham Azis. Sketsa diperoleh dari keterangan dua orang saksi. Pada 22 februari 2018, Novel Baswedan kembali ke Indonesia dari Singapura langsung menuju KPK.
9 Maret 2018
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim penyelidikan kasus penyerangan Novel Baswedan. Anggota tim adalah Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, pejabat terkait, dan ahli hukum.
27 Juli 2018
Setelah absen untuk menjalani proses perawatan mata, Novel akhirnya kembali aktif di KPK. Novel mengatakan akan bekerja sesuai kemampuannya.
21 Desember 2018
Tim Pemantau kasus Novel bentukan Komnas HAM merekomendasikan pembentukan tim gabungan pencari fakta peristiwa dan pelaku kasus Novel. Presiden diminta memastikan Kapolri membentuk, mendukung, dan mengawasi pelaksanaan tim gabungan.
11 Januari 2019
Polri akhirnya membentuk tim gabungan pengungkapan kasus Novel Baswedan. Tim menyertakan unsur polisi, KPK, akademisi, LSM, Komnas JAM, dan mantan pimpinan KPK. Mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertindak sebagai penanggung jawab.
11 April 2019
Tim gabungan belum bisa mengungkap pelaku dan motif penyerangan air keras pada Novel Bawedan. Wadah Pegawai (WP) KPK meminta Presiden membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen.
26 Desember 2019
Polisi menyatakan berhasil mengamankan pelaku penyerangan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Kedua pelaku penyerangan pada Novel adalah anggota polisi aktif. Mereka pun ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini.
11 Juni 2019
Sidang tuntutan digelar. Jaksa meyakini keduanya bersalah melakukan penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan.
Keduanya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsider. Ronny dan Rahmat diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melakukan penganiayaan dan terencana lebih dahulu dengan mengakibatkan luka berat," ujar jaksa saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6).
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan hukuman pidana selama 1 tahun," imbuh jaksa.
Menurut Novel, tuntutan itu aneh, janggal dan lucu, seolah JPU pembela terdakwa.
"Terkait dengan tadi yang saya katakan, tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut 1 tahun penjara, ini tergambar sekali bahwa proses persidangan berjalan dengan aneh. Berjalan dengan banyak kejanggalan dan lucu saya katakan," kata Novel Baswedan.
Novel melihat penganiayaan yang dialami tergolong penganiayaan level tinggi. Namun JPU, menurut Novel, justru seolah bertindak layaknya penasihat hukum.
"Kenapa? Kita bisa melihat serangan kepada saya ini serangan atau kalau mau dikonstruksikan sebagai suatu perbuatan penganiayaan, penganiayaan paling tinggi levelnya," ujarnya.
"Dan terkesan penuntut justru malah bertindak penasihat hukum atau pembela dari terdakwa," sambungnya.
Sumber: detik.
Novel Baswedan [mediaindonesia]
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan melihat banyak kejanggalan selama proses penyidikan dan penuntutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. Kejanggalan itu membuatnya sudah bisa menebak bahwa para terdakwa akan dituntut ringan.
Kejanggalan itu membuatnya enggan menonton jalannya sidang yang disiarkan langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara di YouTube. “Sejak awal saya sudah menyampaikan kejanggalannya, masa saya nonton, buang waktu betul rasanya ha-ha-ha,” kata Novel kepada tempo, Sabtu, 13 Juni 2020.
Novel sudah merasakan kejanggalan sejak anggota Brigade Mobil Ronny Bugis menyerahkan diri ke polisi pada akhir Desember 2019 dan mengaku sebagai pelaku penyiraman air keras. Penyerahan diri itu, disusul dengan ditangkapnya Rahmat Kadir Mahulette, anggota Brimob yang juga disangka menjadi pelaku penyerangan.
Setelah para pelaku ditangkap, Novel sempat meminta penyidik yang menangani kasus ini untuk menyebutkan alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa kedua polisi itu benar-benar pelaku penyerangan.
Sebagai korban, Novel menganggap permintaannya itu tidak mengandung konflik kepentingan. Tapi, menurut dia, penyidik tak pernah menjelaskan alat bukti tersebut. “Penyidik tidak pernah bisa menjelaskan ke saya,” kata dia.
Ketika kedua terduga pelaku itu mulai disidangkan, Novel kembali meminta jaksa penuntut umum menyebutkan apa yang membuat mereka yakin bahwa kedua orang ini benar-benar pelaku penyiraman. Menurut dia, jaksa juga tak bisa menjelaskan. “Tidak bisa jelaskan semua, lalu terus gimana,” kata dia.
Saat sidang sudah berlangsung, Novel mengatakan ada sejumlah saksi penting yang tidak masuk berkas perkara. Dia sudah mengajukan ke jaksa agar para saksi diperiksa ke persidangan. Namun, saksi itu tak pernah dipanggil.
Selain saksi, Novel mengatakan alat bukti yang disodorkan ke persidangan juga janggal. Seperti, baju koko yang ia pakai saat penyiraman ada bagian yang terpotong. Sementara, ada pula bukti penting seperti botol tempat menampung air keras juga hilang. “Dari situ saya melihat tidak ada yang bisa diharapkan,” ujar dia.
Novel juga mengatakan ada kesan bahwa persidangan ingin mendorong kepada kesimpulan bahwa air yang disiram ke wajahnya adalah air aki. Padahal, Novel yakin betul bahwa cairan yang digunakan pelaku merupakan air keras.
“Tidak mungkin air aki sampai membuat luka di mata saya seserius ini, tidak mungkin air aki membuat muka saya harus dirawat di unit darurat luka bakar di Singapura general hospital, ditangani oleh dokter terbaik luka bakar di sana,” kata dia.
Era digital melahirkan era maya. Pun dalam berwisata. Kini, kita cukup membuka internet untuk menikmati keindahan sebuah tempat wisata. Aneka platform menyajikan foto-foto menarik dari berbagai ragam tempat wisata. Mulai dari yang sudah lama dikenal, setengah dikenal, bahkan asing sama sekali.

Salah satu kawasan wisata yang belakangan banyak muncul di internet adalah Kampung Wisata Geopark Ujung Bulu, Dusun Ujung Bulu, Bontolempangan, Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Desa Wisata ini digadang-gadang sebagai "surga tersembunyi yang menyimpan banyak keindahan". Benarkah?

Tidak juga. Terutama dalam hal tersembunyi. Sejak lama, warga Makassar dan sekitarnya mengenal Ujung Bulu sebagai kawasan yang memiliki keelokan alam. Khususnya pegunungan dan gua karst yang banyak berada di sana. "Ketika kecil, tahun 60-an, saya sering diajak kakek ke daerah situ. Menyambangi kerabat yang membuka sawah dan empang di sana. Waktu itu sawah dan empangnya belum banyak," kisah Andi Mudor, 65 tahun, warga Jl. Ratulangi, Makassar. "Sambil menunggu orang menjaring ikan dan memasak, kami main ke gua-gua dan bukit batu yang ada di sekitar sana," tambah Mudor.


Ya, sebagaimana banyak kawasan pedesaan lainnya, Dusun Ujung Bulu didominasi oleh sawah dan empang. Dan inilah keindahannya. Sawah dan empang di latar depan, nu di belakangnya menjulang pebukitan karst khas Maros. 

Tambak alias empang, dengan pematangnya, menjadi pemandangan khas kawasan ini. Terutama sebelum memasuki kawasan pebukitan karst di belakangnya. Jika Anda tengah beruntung, Anda bisa menemukan para petambak dan keluarganya sedang memanen ikan. Kesempatan untuk mendapatkan ikan yang relatif lebih murah dibandingkan membeli di pasar.



Untuk mengunjungi labirin batu yang ada di Ujung Bulu ini, kita perlu berjalan kaki sekitar  5-10 menit dari tempat parkir. Letih karena berjalan kaki terbayar oleh pemandangan unik di sana. Mulai dari bukit-bukit yang mirip candi alam, mulut gua, sampai labirin karst. Semuanya merupakan spot yang tepat untuk berfoto. Baik selfie maupun wefie. 

Lihat saja dua foto di bawah ini:




Mengunjungi Lombok tak cukup hanya menyusuri Senggigi atau Gili Trawangan. Mesjid Kuno Gunung Pujut layak juga menjadi salah satu agenda. Terutama, mereka yang menyukai sejarah dan arkeologi.

Tak sampai satu jam dari Mataram, malah hanya setengah jam dari Bandara Internasional Lombok, 11 kilometer sebelum Pantai Kuta, mesjid kuno yang terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, pekat dengan sejarah.

Sebuah artikel menyebutkan, masjid ini didirikan salah satu raja Kerajaan Pujut yaitu Pangeran Sange Pati sekitar tahun 1587 M. Sementara, artikel lainnya, yang ditayangkan situs Majelis Adat Sasak, menyebutkan Raja Pujut dimaksud bernama Kyai Sri Jati.

Siapapun nama Sang Raja, struktur dan bentuk bangunan masjid tersebut menyerupai Masjid Demak di Jawa Tengah. Hal ini, disebabkan pengaruh nilai-nilai Islam di Lombok yang dibawa oleh Wali dari Jawa.

Walau tak seluruhnya sama persis. Perbedaan geografis membuat pengaruh "Islam Jawa" itu mengalami mofifikasi. Kearifan local ikut mewarnainya. Khususnya pemakaian material bambu, ijuk, dan tanah liat sebagai pondasi serta batu kali sebagai tanggul penahan tanah. Selebihnya, pekat dengan pengaruh Islam Jawa tadi. Terutama makna filosofi yang ada dalam masjid tersebut.

Misalnya, ukurannya yang 9 meter x 9 metermengacu kepada Wali Songo alias Wali Sembilan. Empat tiang sakaguru dari kayu di dalam bangunan masjid bermakna 4 perkara yang menjadi pegangan para wali: Syareat, Tarekat, Hakekat, dan Ma'rifat atau sabar, syukur, ridho dan tawakal. Sementara, empat tiang sudut melambangkan 4 anasir: Air, api, tanah, dan angin.

Masjid Kuno Gunung Pujut dari arah depan. [lupalagi]

Uniknya, bangunan masjid ini menjulang tinggi. Tapi, ujung atapnya nyaris menyentuh tanah. Selain perkara postur fisik manusia Lombok, dan manusia Indonesia umumnya, rendahnya atap tadi bermakna bahwa setiap orang yang hendak melakukan shalat haruslah merendahkan diri menyembah Tuhan. Terlebih, masjid ini hanya memiliki satu pintu.Menegaskan ihwal "setiap" tadi.

Selain itu, masjid ini juga memiliki bagian-bagian layaknya anggota tubuh manusia. Seperti kepala, badan dan kaki. Bagian kepala masjid memiliki makna sebagai kekuasaan karena semuanya berangkat dari akal dan pikiran. Badan masjid memiliki makna bahwa badan sebagai penerima sesuatu dari kekuasaan, sementara  itu fondasi merupakan penguat sehingga keimanan dan ketakwaan umat Islam menjadi kokoh.

Keunikan yang paling khas dari masjid ini ada pada bagian fondasi. Fondasi masjid hanya terbuat dari tanah liat dengan tinggi 60 cm dari permukaan tanah. Selain itu, ada pula sebuah bedug yang dulu digunakan untuk memberitahu tibanya waktu shalat – selain adzan. Bedug ini berada di dalam masjid bersama sebuah mimbar tua yang digunakan khatib saat khutbah.

Mimbar di Masjid Kuno Gunung Pujut, Lombok Tengah. [lupalagi]

Warna Hindu dan animisme masih terasa pada masjid ini. Yakni dengan adanya pedewa di kompleks majis, yang menjadi sarana ritual bagi penganut ajaran Wetu Telu pada masa lalu.

Berbeda dengan Masjid Bayan Beleq di Lombok Utara, Masjid Gunung Pujut ini sudah tidak lagi dipakai sebagai tempat ibadah. Mungkin, karena lokasinya yang kini relatif jauh dari pemukiman warga. Kendati, siapapun yang mengjunginya tak akan menampik sejarah dan peranannya dalam pengembangan agama Islam di Tanah Lombok.
 
Masjid Kuno Bayan Baleq, Lombok Utara, yang sampai kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah. [lupalagi]


Sigit Riyanto Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto, menjadi perhatian setelah pasang badan membela kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) yang menggelar diskusi pada Jumat, pekan lalu. Diskusi secara online bertema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Ketatanegaraan" itu akhirnya batal setelah panitia dan narasumber mendapat teror. Sebagian kalangan akademikus bahkan menganggap diskusi itu sebagai gerakan makar.

Sigit pun tak luput dari perundungan. Lulusan master hukum dari Universitas Nottingham dan doktor dari Fakultas Hukum UGM yang berusia 56 tahun ini mendapat berbagai tuduhan. Ia dianggap mencari panggung, berkepentingan untuk maju dalam pemilihan rektor, melanggengkan Islam radikal, menentang pemerintah, hingga mendukung gerakan makar. Namun Sigit bergeming dengan tuduhan-tuduhan itu. "Saya membela kebebasan akademik dan ilmiah," kata Sigit kepada wartawan Tempo, Shinta Maharani, dalam wawancara di kantornya, kemarin.

Ia berpedoman pada konstitusi yang memberikan jaminan kebebasan berpendapat dan standar universal. Menurut dia, perguruan tinggi harus merawat kemandirian dan independensi berlandaskan nilai, tradisi, dan visi kebebasan. Berikut ini petikan wawancaranya.

Bagaimana awalnya diskusi CLS itu dibuat?
Mahasiswa Fakultas Hukum jumlahnya lebih dari 3.000 orang. Semua mahasiswa masing-masing program studi punya kegiatan akademik maupun non-akademik. Saya harus menyediakan ekosistem pendidikan dan pembelajaran bagi seluruh mahasiswa sebaik-baiknya. Yang penting, syaratnya kegiatan mereka tidak bertentangan dengan hukum, tidak mengganggu ketertiban umum, dan tidak melanggar kesusilaan. Saya mendorong kreativitas dan semangat mereka untuk menimba ilmu dan mempersiapkan diri setelah meninggalkan fakultas. Semuanya saya dukung.

Siapa yang merancang diskusi?
Murni dari mahasiswa. Itu salah satu komunitas hukum tata negara yang ada di strata satu. Mereka merancang diskusi sendiri. Bagi saya, tidak ada yang aneh dan biasa-biasa saja.

Tapi diskusi itu dipersoalkan dan menjadi ramai. Bagaimana sikap Anda?
Mahasiswa membuat poster sepekan sebelum diskusi. Poster itu sebagai informasi untuk kawan-kawan dan siapa pun yang berminat. Kegiatan lain juga begitu dan biasai saja. Ada yang mau menyanyi bareng, pentas seni. Nah, lalu saya mendapat informasi ada yang mempersoalkan poster itu. Tadinya saya tidak intensif mengikutinya, tapi kemudian diskusi itu masuk ke pemberitaan yang sangat masif dan tiba-tiba saya juga mendapat serangan melalui pesan WhatsApp.

Serangannya dalam bentuk apa?
Pesan itu masuk ke grup-grup WA. Intinya ada yang menyebut Sigit Riyanto sedang cari panggung. Beberapa teman juga mengirimkan pesan ke saya tentang informasi yang beredar di media massa dan media sosial. Saya menjadi ingin tahu, kok heboh banget. Wong cuma anak semester dua mau diskusi, kok sepertinya kayak mau mengguncang negara saja. Jadi, sampai sekarang saya berpikir begitu. Lalu saya mencari informasi, sedikit merenung, dan evaluasi apa sih yang sebenarnya terjadi.

Anda tahu pesan itu dari mana?
Itu pesan terusan yang dikirimkan oleh beberapa kawan saya. Tidak tahu asalnya dari mana. Saya menerima pesan itu pada Jumat pagi. Anak saya, yang masih SMA, memberi tahu ada buzzer yang menyerang saya di media sosial.

Respons Anda saat itu…
Kami satu keluarga, saya, istri, dan tiga anak membuat grup WA. Saya menanggapinya biasa saja karena sering berhadapan dengan serangan atau bully. Di dunia medsos seperti sekarang kan itu biasa. Istri saya agak under pressure karena dia punya grup bersama teman-temannya dan reaksi di grup itu tidak seperti yang dia bayangkan. Muncul penghakiman-penghakiman terhadap saya. Akhirnya istri saya enggak menanggapi dan tidak berkomentar.
Istri saya yang banyak menerima telepon dari keluarga. Mereka bilang mendapat info bahwa saya diteror, ikut Islam radikal, dan bergabung dengan kelompok celana cingkrang. Istri saya khawatir orang tua kami akan panik karena mendengar kabar yang berseliweran itu. Tapi orang tua kami melihat saya tenang di televisi jadi lega.

Lalu?
Yang lucu, ada orang yang mengaku dari sebuah instansi di DIY datang ke kampus, katanya diminta seorang pejabat untuk mengklarifikasi. Saat itu, saya tidak di kampus. Dia datang dan berbicara melalui telepon yang disambungkan oleh sekretaris. Saya menyampaikan ke dia bahwa saya sudah buat siaran pers. Dia menanyakan apakah mahasiswa itu akan dijatuhi sanksi. Saya respons, lho, siapa yang bilang ada sanksi. Kata-kata sanksi enggak pernah ada di siaran pers. Saya meluruskan dan menjawab sesuai dengan fakta, tidak ada yang harus disembunyikan.


Mahasiswa komunitas CLS mendapat ancaman pembunuhan. Apa yang Anda lakukan?
Saya membayangkan, kalau sesuatu yang tidak dikehendaki menimpa mahasiswa dan keluarga yang diancam, saya bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka. Saya berinisiatif untuk menghubungi dosen pembina. Saya tanya kontak mahasiswa yang mendapat ancaman pembunuhan. Rupanya handphone panitia diskusi diretas.
Sehari sebelum diskusi, saya sudah mendengar rumor diskusi dibatalkan. Saya berpikir cepat karena ada ancaman pembunuhan. Saya meminta informasi nomor ponsel mahasiswa yang diancam ke teman-teman dosen. Saya menelepon ke nomor baru Anugerah, moderator diskusi, dan yang mengangkat ibunya. Ternyata nomor lama Anugerah diretas untuk memesan makanan jasa ojek online. Akun Instagram-nya juga diretas.

Anda menyediakan rumah aman untuk mahasiswa...
Ya. Saya menawarkan bantuan ke Anugerah dan ibunya agar mereka merasa aman. Saya meminta waktu 30 menit untuk analisis situasi, lalu menelepon wakil dekan bidang aset dan SDM. Saya menempatkan Anugerah di rumah dinas yang tidak saya tempati. Di sana ada satpam yang mengawasi. Saya mengirim kepala kantor, sopir, dan petugas keamanan untuk menjemput Anugerah pada Jumat malam. Saya bilang ke kepala kantor, tolong mahasiswa saya ditenangkan dan tanyakan dia butuh teman atau tidak. Kami berkomunikasi melalui satpam.

Anda terlihat sigap menghadapi situasi seperti ini…
Saya pernah bekerja di wilayah konflik. Pernah menjadi Legal Officer International Committee of the Red Cross dan di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Regional Representative. Saya terbiasa mengintervensi situasi yang sangat ekstrem. Sebenarnya apa yang saya lakukan enggak ada yang luar biasa. Saya mengambil keputusan dan tindakan cermat, tepat waktu, dan terukur karena berkaitan dengan banyak variabel yang harus dihitung. Ada berbagai pertimbangan yang diperhitungkan karena banyak aktor yang terlibat, melibatkan diri, dan ingin ambil bagian dari proses itu. Di internal UGM, relasi UGM di tingkat nasional, dan kontestasi politik, saya sudah memetakan.

Diskusi CLS oleh beberapa kalangan akademikus dianggap sebagai gerakan makar. Bagaimana Anda menjawabnya?
Orang perlu memahami beberapa fakta. Ada orang yang tidak paham dengan kegiatan diskusi, tapi langsung membuat judgement dan disebarkan ke mana-mana. Lalu ada orang yang mungkin tidak tahu dengan diskusi itu, akhirnya mereka itu menggiring opini masyarakat. Karena itu diadakan Fakultas Hukum, orang menganggap saya punya maksud tertentu. Ada yang bilang itu berhubungan dengan pencalonan rektor, panggung politik secara nasional. Padahal saya tidak menjadi bagian dari proses diskusi. Saya tahu di luar sana banyak yang ingin saya membuat pernyataan yang blunder. Ada yang berkepentingan, tapi orang tidak memikirkan bahwa saya harus cuci piring atas situasi itu.

Apa yang membuat Anda membela mahasiswa yang menggelar diskusi itu?
Saya membela kebebasan akademik dan ilmiah. Mahasiswa hukum membahas sesuatu yang relevan dengan topik yang mereka pelajari sebagai orang yang belajar hukum. Itu kan wajar-wajar saja. Mereka belajar dengan cara yang sesuai dengan metode yang berlaku dalam dunia akademik. Mereka menggelar diskusi, mengundang narasumber yang berkompeten, dan diskusi pun melalui daring seperti yang dilakukan banyak orang dalam situasi pandemi.
Diskusi itu adalah sifat atau karakter dari universitas di seluruh dunia. Jadi, tidak perlu ditakutkan atau dilarikan ke konflik politik praktis atau konflik kepentingan. Dunia akademik punya nilai, standar, dan metodologi.

Tapi, oleh sejumlah kalangan, isu pemakzulan dari sudut pandang hukum tata negara tidak relevan dengan situasi pandemi...
Pertama, di tengah situasi pandemi dan tidak pandemi orang berdiskusi enggak ada larangan sepanjang tidak melanggar hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kedua, kalaupun dikaitkan dengan situasi pandemi, kita harus menyadari bahwa pandemi yang terjadi pada skala global tidak cukup hanya dengan resep tunggal kebijakan di bidang tertentu. Ada ekonomi, politik, sosiokultural, dan kesehatan yang terkena dampak. Wacana harus dibuka seluas-luasnya. Pendapat yang berbeda ini bukan untuk mengganggu, tapi justru melengkapi kebijakan yang sudah ada.

Bagaimana Anda mengevaluasi peristiwa yang menimpa mahasiswa Anda?
Peristiwa itu mengakibatkan situasi yang tidak nyaman bagi mahasiswa. Saya melakukan langkah-langkah untuk mengembalikan dan meyakinkan semua mahasiswa bahwa kegiatan seperti itu enggak ada masalah. Saya sebagai penanggung jawab fakultas harus memberikan yang terbaik. Kalau keamanan mereka terancam, saya harus menyelamatkan mereka. Kalau kebebasan mereka untuk melakukan kegiatan akademik terganggu atau terancam, saya harus membantu mereka. Saya ingin orang menjadikan kami, Fakultas Hukum, sebagai rujukan.

Berbicara tentang passion, Anda punya banyak pengalaman di bidang hukum. Mengapa Anda tertarik bergiat di bidang hukum?
Sejak saya dan keluarga punya pengalaman mendapat persekusi.

Apa bentuk persekusi itu?
Di KTP bapak saya, saat zaman Orde Baru, tertulis eks tapol. Bapak saya seorang guru. Seluruh anggota keluarga menderita karena menjadi korban bullying. Saya dan adik-adik saya mengalaminya. Kami empat bersaudara. Bullying itu berlanjut lama. Tapi, pada saat yang sama, itu memotivasi saya untuk belajar tentang keadilan. Setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk masuk fakultas hukum. Saya mulai mendengar berita radio dan membaca koran tentang kasus-kasus hukum dan membuat tertarik untuk belajar hukum.

Persekusi lain yang Anda alami…
Waktu mau masuk UGM, masih zaman Orde Baru, orang harus punya surat keterangan kelakuan baik dan harus mengurus di komando rayon militer dan kantor polisi. Saya enggak dapat. Surat itu syarat untuk diterima di UGM. Saya mengalami hambatan. Tapi saya berusaha untuk mendapatkan surat keterangan itu. Saya harus pindah keluarga atau pindah KTP supaya dapat kesempatan. Saya sampai harus menumpang di salah satu keluarga ibu.

Apa dampaknya?
Ketika saya, adik-adik, dan keluarga mendapat persekusi, itu sesuatu yang berat. Bagi saya agak berat karena saya masih remaja. Belum tahu persis gambaran besar yang terjadi. Itu membuat saya termotivasi untuk melakukan hal-hal baik dan membuktikan melalui prestasi sehingga orang memahami dan percaya untuk menghapus stigma. Kami sekeluarga tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Setelah kuliah, saya tinggal di Yogyakarta. Setelah jadi dosen punya kesempatan bekerja di organisasi internasional, terakhir di UNHCR hingga 2006. Lalu saya kembali ke kampus sepenuhnya.

Lalu Anda membantu orang-orang yang dipersekusi…
Saya pernah bekerja di organisasi internasional menangani konflik dan membantu orang-orang yang dipersekusi. Jadi, saya menjiwai dan memahami rasanya orang menghadapi persekusi. Itu yang menjadi alasan saya bersikap rasional. Tapi saya juga firm ke mana harus berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan. Meskipun saya tahu banyak kepentingan yang menekan, bagi saya, enggak ada kekhawatiran.

Sumber: korantempo

Kim Yo Jong.[via kontan]


Pemerintah Korea Selatan tak ingin memanaskan situasi keamanan di semenanjung Korea. Terbutki, mereka memilih bertindak pasif setelah adik Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Kim Yo Jong, melontarkan ancaman pembatalan perjanjian militer.

Pemerintah Seoul melarang para pembelot menerbangkan pesan anti-Pyongyang, beberapa jam setelah Yo Jong mengancam akan membatalkan perjanjian militer.

Kim Yo Jong, sosok berpengaruh sekaligus penasihat Kim Jong Un, memberikan peringatan terkait hubungan Korea Utara dan Korea Selatan yang bisa membeku kapan saja, tak lama setelah para pembelot diketahui menerbangkan pesan anti-Pyongyang di perbatasan kedua negara.

Dan ancaman tersebut rupanya membuat Seoul menahan diri. Pasalnya, tak kurang dari tiga kali, sejak Kim Jong Un  bertemu Presiden Korsel, Moon Jae-in, sejak 2018 lalu, sebagai upaya meredakan ketegangan di antara kedua negara.
Pemulihan upaya itu terjadi di tengah sikap pembelot Korut, yang menerbangkan balon ke perbatasan dengan pamflet berisi kritikan di dalamnya. 

Dilansir AFP, Kamis, 4 Juni 2020, para pembelot itu menyebut rezim Kim melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan ambisinya akan nuklir.

Keruan saja, ulah para pembelot itu membuat berang Kim Yo Jong. "Pemerintah Korsel akan membayarnya jika mereka terus membiarkan situasi ini sembari menyiapkan berbagai dalih," ancam sang penasihat.

Perempuan yang diyakini berusia 32 tahun itu menyebut para pembangkang sebagai "sampah manusia", yang mengkhianati tanah airnya."Sudah waktunya untuk menyeret pemiliknya guna bertanggung jawab," kecam Yo Jong dalam pernyataan yang dirilis oleh KCNA.

Beberapa jam kemudian, Kementerian Unifikasi Korsel melontarkan keterangan bahwa mereka berencana melarang selebaran yang dianggap sumber ketegangan di perbatasan. "Segala tindakan yang bisa mengancam nyawa atau harta benda warga perbatasan harus dihentikan," kata juru bicara kementerian, Yoh Sang-key.

Penyebaran pamflet yang mengejek Pyongyang sejak lama menjadi isu yang dibahas oleh dua Korea.

Tapi melarangnya juga dianggap pelanggaran kebebasan berekspresi. Meski begitu, Kantor Kepresidenan Korsel menyatakan, pamflet itu lebih banyak memberikan dampak yang negatif daripada positif.

Dilaporkan Yonhap, pemerintahan Moon berusaha "menyikapinya secara halus" agar tidak sampai mengancam keamanan nasional.

Dalam ancamannya, Kim adik menyebut bakal membatalkan perjanjian militer yang diteken saat Moon berkunjung ke Pyongyang, dan menutup kantor perwakilan.

Namun, sebagian besar dari perjanjian itu memang sudah tidak dilaksanakan, sejak Korut memutuskan kontak dengan Negeri "Ginseng".

Pemutusan itu terjadi setelah pertemuan kedua Kim dengan Presiden AS Donald Trump di Hanoi, Vietnam, pada Februari 2019 runtuh.

Sementara kegiatan operasional di kantor perwakilan sudah tidak aktif sejak wabah virus corona, dengan Korut menggelar puluhan uji coba senjata sejak perjanjian ditandatangani.

Adik Kim Jong Un itu juga mengancam bakal menutup dua proyek gabungan Korea, yakni Kawasan Industri Kaesong dan pariwisata Gunung Kumgang. Keduanya merupakan sumber pemasukan bagi Korea Utara, namun dibekukan bertahun-tahun sejak mendapat sanksi karena uji coba senjata. 

Sumber: Kontan