Sunardian Wirodono [facebook-suanradianwirodono] |
Sunardian Wirodono, Writer, Interviewer, TV Programs Designer, Script-writer, Freelance (Buruh Harian Lepas)
Selama ini para cendekiawan mengira, penindasan negara dan perluasan campur tangan aparat dalam kehidupan masyarakat, akan dijawab oleh masyarakat dengan revolusi liberalis, sosialis, bahkan komunis. Padahal, kesimpulan Ong Hok Ham, marhum sejarawan sohor kita dalam tulisannya (1984), dari dulu sampai kini jawaban masyarakat bisa juga melalui agama.
Mengutip Benda mengenai peralihan agama di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) terjadi pada zaman yang sama, juga dalam spirit secara politis dan sosiologis yang dalam. HJ Benda menyandingkan yang terjadi dengan para bhiksu ketika melawan Ngo Dien Dhiem di Vietnam Selatan, peran para pongyi atas pemberontakan Saya Sen di Myanmar 1930an, atau juga peran ulama dalam Pemberontakan Cilegon (1882) di Indonesia.
Secara tajam Benda mengatakan perubahan Chiva-Buddha di Asia Tenggara ke Islam di Jawa pada abad 14-16, tidaklah unik. Buddha, khususnya Theravada dan Islam, memiliki ciri lebih kerakyatan dibanding agama sebelumnya yang lebih Brahmanisme, atau lebih melegitimasi konsep dewa-raja.
Senyampang itu, sebagaimana dikisahkan dalam Pararathon tentang para Brahmana yang meninggalkan Tunggul Ametung, untuk mengakui Ken Arok sebagai raja. Sekali pun contoh ini, dibanding situasi zaman Sultan Agung, bisa tak sebanding kompleksitasnya. Apalagi bila dibanding bagaimana tragisnya nasib Sunan Amangkurat I, yang membunuh ribuan ulama demi menegakkan kekuasaannya.
Kesadaran kelompok Prabowo, dengan framing agama yang dihembuskan (dan bagaimana kelompok Jokowi mereaksi), saya kira seperti disimpulkan Ong, agama disadari mempunyai peranan ideologi untuk dimainkan dalam konteks (perebutan) politik kekuasaan. Lihat misalnya turunnya Sah Iran Reza Fahlevi. Bagaimana tim Prabowo mencoba mereduksi dan mendeligitimasi citra Jokowi, isu dan sentimen apa yang mereka bangun (berawal dari Rob Allyn influencer atau pun Eep Saefulloh Fatah dalam gerakan ini). Apalagi merunut Sydney Jones, hanya Islam dalam bentuk mistik yang dapat menyebar ke Indonesia karena alam rohani masyarakatnya.
Pertarungannya selalu saja antara kapitalisasi dan antisipasi, antara minoritas ekstrim dengan kelompok majoritas namun dengan militansi rendah. Itu dilema ucapan Gus Dur, “jika agama membawa pesan-pesan kasih, kaum ekstremis memutarbalikkannya.” Dan sebagaimana kata Slamet Maarif, bisa jadi kelompok ini akan terus bermain di grey area, sebagai OTB (organisasi tanpa bentuk), dan subversib. Lebih karena ketidakpercayaan diri mereka. Tidak mudah (kini) membangun soliditas dan militansi, ketika turun nabi pun tak berani balik ke Indonesia karena sangkutan hukum.
Agama memang lebih untung jika jadi parpol, tapi dalam format tak berformat, klandestin. Sehingga bisa teriak-teriak agar orang menjual mobil, untuk patungan biaya kampanye politik. Karena Allah akan menggantinya berlipat-lipat. Dan ada yang percaya, takut kecemplung neraka. Karena kebodohan tak mengenal agama.
*) Artikel ini ditayangkan penulisnya di akun facebook bersangkutan. Ditayangkan ulang di sini atas izinnya.
Post A Comment:
0 comments: