Oleh : Muhammad Jawy

Keributan di media sosial terkait Freeport beberapa waktu belakangan ini diakibatkan salah satunya karena kita sendiri tidak memahami dokumen kontrak karya yang kontroversial itu, bahkan membaca pun barangkali tidak pernah, tetapi kita nekad masuk ke arena perdebatan dengan menggunakan kacamata fragmentasi politik, khususnya dengan konteks politik sekarang ini.

Beberapa generasi muda mungkin juga perlu mengetahui konteks ketika KK2 itu ditandangani, yaitu tahun 1991, di puncak keemasan Era Orde Baru. Ketika itu tak boleh ada perbedaan pendapat yang mengkritik pemerintah. Pers pun dibungkam, dengan ancaman breidel, tutup paksa, kalau nekad mengkritik.

Jika ada masyarakat yang berani membahas issue seperti ini, sangat mungkin ia sudah menjadi target dari para intel, kaki tangan Orba yang amat ditakuti karena bisa menentukan hidup matinya seseorang. Bukan tidak mungkin, gelaran PKI akan disematkan untuk rakyat yang mencoba kritis.

Banyak dari kita yang baru bisa mengakses dokumen yang sensitif seperti ini, setelah Orde Baru tumbang, Soeharto beramai-ramai diturunkan. UU Pers diundangkan Habibie, dan teknologi internet membuat konten mudah dipublikasikan di dunia maya.

Jika kita tengok ke dokumen KK2 ini, nyata sekali kedurjanaan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto, yang menyulitkan pemerintahan Indonesia selanjutnya. Ini adalah pasal karet yang menjadi masalah yang sulit diselesaikan.

Apa bunyinya?

Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 years from the date of the signing of this Agreement; provided that the Company shall be entitled to apply for two successive ten year extensions of such term, subject to Government approval. The Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by the Company may be made at any time during the term of this Agreement, including any prior extension.

Kuncinya: Freeport punya hak perpanjangan 2x10 tahun yang tidak boleh dihambat oleh pemerintah tanpa alasan yang kuat.

Pasal inilah yang memberi ruang bagi ketidakpastian hukum, dengan posisi Indonesia sangat lemah. Sudah pasti yang memasukkan pasal ini bukan orang sembarangan, karena dampak dari pasal ini yang sangat besar.

Ada yang menyebut, khan bisa kita pakai alasan Freeport sudah merusak lingkungan yang cukup parah? Atau Freeport seharusnya tunduk patuh dengan UU Minerba 2009 yang disahkan SBY?

Boleh saja berpendapat seperti itu, tetapi sayangnya yang akan membuat penilaian dan keputusan tidak bisa satu pihak pemerintah atau Freeport saja, melainkan dari forum Arbirtrase Internasional. Di percaturan internasional, tentu saja kita tidak bisa senaif bahwa arbitrase akan selalu menjunjung keadilan, kebijaksanaan. Apalagi yang dilawan adalah entitas berpengaruh dari negara adidaya yang masih menjadi polisi dunia. Bukan tidak mungkin, meski kita didzalimi selama puluhan tahun, kita kalah di forum internasional. Dan harus membayar sangat mahal, karena ini kasus yang melibatkan potensi bisnis hingga ribuan trilyun.

Pemerintah SBY sudah mencoba untuk bernegosiasi dengan Freeport, apalagi dengan senjata barunya UU Minerba 2009, tetapi selalu gagal, karena diancam akan diarbitrasikan. Sudirman Said di awal pemerintahan Jokowi pun juga ikut mengusik kenyamanan Freeport, namun belum mengangkat posisi tawar yang kuat bagi pemerintah RI.

Maka masuklah si orang akuntansi yang sebelumnya diberhentikan (konon) karena berani ngeyel kepada Presiden dalam beberapa issue perhubungan, Jonan. Ia diangkat kembali oleh Presiden sebagai menteri ESDM tandem dengan Archandra yang sempat sibuk membereskan masalah kewarganegaraan.

Jonan memulai ulang adu jab dengan Richard Adkerson CEO Freeport menjadi "Battle of Wits", adu kercerdasan untuk mengalahkan lainnya, yang kemudian sangat menentukan masa depan tanah emas Papua. Sempat menjadi panas salah satunya ketika Jonan memaksa Freeport segera menyelesaikan smelter atau ijin ekspor dihentikan, yang berdampak Freeport sempat menghentikan operasi pertambangannya selama beberapa waktu. Ini mungkin pertama kalinya Richard merasakan jab telak di mukanya, yang mungkin membuatnya jadi berpikir, "Oh, sekarang Indonesia mau main serius rupanya?".

Richard-pun sempat menggunakan jurus meradang, yaitu mengancam (kembali) mengajukan arbitrase, yang artinya perang terbuka melawan pemerintah RI. Namun beberapa kali pertemuan digelar baik di Jakarta ataupun di Amerika, seperti menyadarkannya bahwa Indonesia yang dihadapi sekarang, berbeda dengan Indonesia yang dihadapinya dulu.

Di sela Battle of Wits itu, seperti yang disebut oleh Dahlan Iskan, Jonan dan tim berhasil menemukan celah, yaitu menaklukkan Freeport melalui jalan yang tak disangka: celah diantara kesepakatan Freeport dan Rio Tinto. Tentu saja Jonan tak sendirian, dukungan kuat dari Presiden dan tiga menteri wanita di kabinet, membuat akhirnya Indonesia kembali berdaulat di tanah emas Papua.

Dalam Battle of Wits ini, kemenangan strategis jelas diraih oleh Jonan dan Indonesia. Namun kemenangan ini tetap memberikan kemenangan yang lain bagi induk usaha Freeport McMoran, ia bersama dengan Inalum mewakili entitas Indonesia yang sekarang menjadi pemegang saham mayoritas, bisa bekerjasama hingga 2041 menambang tanah emas terbesar di dunia.

Dengan mayoritas saham ada di Indonesia, diharapkan proses transfer pengetahuan, penanganan issue pencemaran lingkungan, bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Kesejahteraan Papua akan meningkat tajam dengan pembagian yang semakin besar, mulai dari laba bersih dan juga 10% saham. Sesuatu yang harus dirayakan bersama, oleh rakyat Papua, oleh rakyat Indonesia.

Namun jangan lupa, bahwa upaya ini harus tetap diawasi bersama, supaya tidak ada hak rakyat yang terlewat dari tujuannya.

-Zek

Lampiran: File KK II Freeport 1991

https://www.sec.gov/…/…/831259/000083125901500022/exh101.txt



Axact

Reksanews

Mengajak setiap pembelajar untuk bersama-sama mempraktikkan jurnalisme yang baik.Tak sekadar teori

Post A Comment:

0 comments: