Alissa Qatrunnada Wahid [via bumoe] |
Alissa Qatrunnada Wahid, psikolog keluarga, humanitarian, penjahit Gusdurian.
Beberapa hari menginap di hotel, setiap malam saya menonton Stand Up Comedy Amerika Serikat di salah satu saluran televisi. Saya mendapati bahwa para komika ”Negeri Paman Sam” sangat lugas dan tanpa batas dalam pilihan tema ataupun cara penyampaiannya.
Menonton aktris dan komedian Natasha Leggero yang tak segan memilih kata dan aksi panggung yang bagi saya terasa kasar tak urung saya berpikir, apakah ia berani pulang kampung setelah ”menghina” warga kotanya kampungan. Dan tentu saja Natasha tidak sendiri. Dunia stand up comedy di AS memberikan apresiasi dan ruang yang cukup besar bagi para komika dengan berbagai tingkah panggungnya.
Demikian pun di Indonesia. Stand up comedy menjadi salah satu dunia ”asyik” yang cukup berkembang dalam satu dekade terakhir seiring dengan menguatnya kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik selepas reformasi.
Acara televisi dan panggung off air diminati penonton. Bahkan, kita boleh berbangga, komika perempuan Sakdiyah Makruf telah menyabet penghargaan internasional atas kiprahnya menggunakan panggung humor untuk memperjuangkan isu keadilan sosial, juga masuk sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh versi BBC tahun 2018 ini.
Sayangnya, kenyataan setahun terakhir memberikan plot twist yang kurang memberdayakan di negeri kita. Beberapa orang komika dianggap terpeleset dengan humor yang membawa agama sehingga membuat sebagian khalayak menjadi gerah dan merasa itu tak pantas. Akibatnya, sekian komika tersebut menerima konsekuensi sosial berupa rundungan dunia maya dan konsekuensi profesional, seperti mengundurkan diri dari dunia komika atau kontrak kerja yang tak berlanjut.
Akhirnya, banyak komika sekarang memilih membatasi dirinya dengan tegas dan kaku.
Padahal, pada dasarnya, menurut Gus Dur dalam pengantar buku Mati Ketawa Ala Rusia (1986), humor justru merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat. Dengan itu warga masyarakat dapat menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar. Humor menjadi alat untuk berdamai dengan keterbatasan dan pembatasan yang dihadapi masyarakat, tanpa kehilangan ketangguhan untuk menghadapi tantangan dan bahkan kepahitan hidupnya.
Akhirnya, banyak komika sekarang memilih membatasi dirinya dengan tegas dan kaku.
Padahal, pada dasarnya, menurut Gus Dur dalam pengantar buku Mati Ketawa Ala Rusia (1986), humor justru merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat. Dengan itu warga masyarakat dapat menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar. Humor menjadi alat untuk berdamai dengan keterbatasan dan pembatasan yang dihadapi masyarakat, tanpa kehilangan ketangguhan untuk menghadapi tantangan dan bahkan kepahitan hidupnya.
Sakdiyah menampilkannya dengan membawa kisah betapa beratnya menjadi perempuan di keluarga Arab yang kolot. Batasan batasan kultur Wahabi Arab yang sering dinilai publik sebagai hal hal yang menyeramkan diolah Sakdiyah dengan humor menjadi sesuatu yang mencerahkan pemahaman.
Serupa Sakdiyah, Priska, komedian muda asal Nusa Tenggara Timur, mengingatkan kita untuk
tidak terjebak pada asumsi-asumsi dan simbol simbol melalui kisahnya sebagai perempuan Nasrani berkalung salib yang bekerja di sebuah toko hijab. Ia mengajak pemirsanya untuk mengayun mengkritisi asumsi stereotipikal bahwa orang bisa berubah keimanan hanya karena berada di lingkungan berbeda. Humor memang sangat efektif menjadi alat perlawanan. Tanpa harus menentang secara frontal, masyarakat dapat melontarkan pandangan kritisnya terhadap kekonyolan, ketidakadilan, atau sistem yang membelenggu.
Contoh klasik kita adalah komentar Presiden Gus Dur, ”DPR kok seperti taman kanak kanak,” yang melontarkan publik Nusantara pada diskursus ekspektasi kita atas lembaga tertinggi yang mewakili rakyat. Demikian melekat humor ini, agaknya sampai kapan pun, lembaga dan anggotanya yang mulia akan selalu berhadapan dengan pengukuran ini. Selain itu, menertawakan diri sendiri adalah ciri khas pada komedian tingkat mahir. Di Indonesia, Gus Dur lagi lagi mengukuhkan dirinya menjadi tokoh yang paling nyaman untuk menertawakan dirinya sendiri, sepedas saat beliau menertawakan tokoh lainnya. Seperti saat beliau menilai gilanya Presiden Indonesia. ”Presiden pertama gila wanita, presiden kedua gila kuasa, presiden ketiga gila teknologi, dan presiden keempat membuat orang lain gila.”
Barangkali ini adalah pernyataan yang politically incorrect, tetapi karena kredibilitas Gus Dur soal humor, orang melihatnya secara utuh: Gus Dur tidak hanya mengkritisi presiden-presiden sebelumnya, tetapi juga mengkritik dirinya sendiri.
Ini menunjukkan humor juga mampu berfungsi membantu kita lebih rendah hati dan sadar diri. Ia membantu kita dengan meringankan beban dalam mengakui kelemahan-kelemahan diri kita saat kita gunakan humor untuk menertawakan diri sendiri. Dibutuhkan kebesaran jiwa untuk menertawakan diri sendiri dan sebaliknya menertawakan diri sendiri juga membuat kita memperkuat kebesaran jiwa.
Sesungguhnya, Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi darurat. Darurat tertawa. Darurat komedi. Kondisi kita akhir akhir ini yang begitu tegang dengan politik dan hamburan pandangan dan sikap penuh kebencian antar kelompok membuat kita perlu melemaskan otot mental dan urat saraf berbangsa kita. Kelompok kolompok yang 'methenteng' alias penuh kemarahan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan, barangkali perlu didekati dengan humor.
Tak dinyana, saat inilah kita membutuhkan para komika untuk masa depan Indonesia. Semoga tantangan akhir akhir ini tidak membuat para komika patah arang, tetapi semakin arif dan matang dalam menggunakan humor untuk mengubah keadaan Indonesia yang sedang muram dan tegang.
Dengan demikian, mengutip tema malam budaya dalam Temu Nasional Penggerak Gusdurian 2018: kebencian akan tumbang, komedi akan menang.
*) Kompas Minggu, 2 Desember 2018
Post A Comment:
0 comments: