December 2018
Si Urat Emas dan Mutiara. [facebook-nazarudinazhar]
Oleh Nazarudin Azhar, desainer grafis dan sastrawan yang banyak menulis dalam Bahasa Sunda.

Akhir tahun 2018 ini, dilengkapi oléh satu kebahagiaan: terbitnya dua buku berbahasa Sunda yang diprakarsai oléh dua anak muda. Kedua buku tersebut yang menemani saya menghabiskan sisa hari di tahun ini. Keduanya saya nikmati betul sebagai buku yang menggetarkan, memulihkan kembali semangat membaca buku berbahasa Sunda, di tengah lesatan kemajuan dunia digital; di mana semua orang bisa menuliskan apapun dan mempublikasikannya semudah buang angin. 

Buku yang saya maksud adalah "Mutiara", novel John Steinbeck yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Sunda oléh Atép Kurnia, diterbitkan oléh Penerbit Layung, cetakan I, Novémber 2018.

Buku kedua adalah kumpulan carita pondok Godi Suwarna, "Carios si Urat Emas", diterbitkan oléh penerbit Silantang, cetakan I, Désémber 2018.

Kedua buku tersebut patut mendapat sambutan hangat, minimal karena beberapa hal. 

Pertama, tentu saja setiap penerbitan buku berbahasa Sunda harus diapresiasi sebagai wujud perjuangan dalam menjaga dan memelihara keberadaan Bahasa Sunda. Ini adalah sebuah langkah kongkrét di tengah semangat "ngamumulé" Bahasa Sunda, sebagaimana kerap dilontarkan oléh berbagai pihak yang selalu khawatir Bahasa Sunda akan punah, lalu getol melaksanakan beragam seminar, diskusi, atau kongrés. 

Kedua, buku ini diterbitkan oléh penerbit yang didirikan oléh anak-anak muda. Penerbit Layung milik Zhulfy "Miko". Pemuda dari Tarogong Kidul, Garut. Sebelum menerbitkan "Mutiara", Layung telah menerbitkan antara lain novel "Déng" karya Godi Suwarna, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonésia oléh Déri Hudaya, dan penerbitan ulang sebuah buku terjemahan karya Oktavio Vaz. 

Terbitnya "Mutiara" telah memantapkan langkah Miko untuk menekuni penerbitan buku-buku sastra Sunda, dan buku tentang kesundaan, baik yang berbahasa Sunda maupun Indonésia. Keseriusannya sebagai penerbit antara lain dengan menggandéng Atép Kurnia sebagai redaktur penerbit Layung. Atép dikenal sebagai anak muda yang inténs meneliti berbagai hal terkait sastra dan pustaka Sunda. Ia juga penulis, penerjemah, dan éditor yang handal. 

Kemudian penerbit Silantang, didirikan oléh Lugiena Dé, berbasis di Cibiru, Bandung. Déa, panggilan Lugiena, adalah sastrawan muda yang juga bekerja sebagai guru. Karyanya antara lain buku kumpulan carpon "Jeruk" (asasupi, 2016). 

Kumpulan carpon "Carios si Urat Emas" adalah buku perdana yang diterbitkan oléh Silantang. Buku yang benar-benar menampakkan Silantang sebagai penerbit buku Sunda yang daria. Déa dengan dukungan Dadan Sutisna --sastrawan dan dokuméntator paling tekun hingga sejauh ini, dan menulis catatan yang sangat bagus di buku Carios si Urat Emas -- berupaya mencari bahan untuk buku ini tanpa melibatkan sang pengarang. Ia mengumpulkan carpon Godi Suwarna dari sejumlah média, memilahnya untuk diterbitkan sebagai buku, dan mengurus izin dari pengarang setelah terwujud manuskrip. Bagi pengarang, pastilah hal semacam ini adalah kejutan yang menyenangkan. 

Meski penerbit baru, Layung dan Silantang, hadir dengan profésional. Semua aspék yang tekait dengan usaha penerbitan, dilaksanakan dengan baik. Mendirikan perusahaan secara légal formal yang tentunya berimplikasi pada kewajiban bayar pajak, mengeluarkan modal untuk desain dan percetakan, dan membayar royalti pada pengarang. Hal ini saya ceritakan untuk menegaskan pembéda antara kedua penerbit ini dengan penerbit "indie" yang hanya berfungsi sebagai penerbit saja sedang hal lain ditanggung si pengarang. 

Menerbitkan buku berbahasa Sunda sudah pasti menjadi pilihan yang berani. Orang Sunda berpuluh juta banyaknya, tapi entah berapa persén yang senang membeli buku. Meréka tentu sudah memperhitungkan bagaimana cara memasarkan buku-buku yang meréka terbitkan. Saya berdoa agar usaha meréka mendapat kelancaran, apalagi menerbitkan buku Sunda adalah juga sebentuk jihad, karenanya semoga meréka mendapat berlipat ganjaran, baik berupa matéri maupun kebahagiaan.

Hal lain yang menyenangkan adalah buku-bukunya énak dibaca. Pemakaian font, layout, juga kertas yang digunakan sangat nyaman di mata. Ini juga penting karena kenyamanan saat membaca sebuah buku harus benar-benar diperhitungkan, terutama bagi pembaca yang rakus, yang kerap harus menyelesaikan sebuah bacaan menarik seperti orang yang tengah melampiaskan kerinduan. 

Hal terakhir, dan ini sangat mengharukan secara personal, adalah saat saya membaca kedua buku ini ditemani bercangkir kopi dan berbatang kréték yang saya beli dari honor membuat kaver kedua buku ini (setelah sebelumnya saya juga membeli beberapa buku lain sebagai rasa syukur). Kerén kan? Tentu saja! Saya merasa tengah dirahmati oleh berkah yang melimpah. 

Terakhir, dan ini yang terpenting, kedua buku ini harus dimiliki dan dibaca. Untuk membelinya Anda bisa langsung menghubungi penerbit Layung (0813 2267 9851), dan penerbit Silantang (0815 7186 576). John Steinbeck dan Godi Suwarna, telah berbagi kisah yang mengguncang perasaan, dan penerbit Layung dan Silantang telah memudahkan Anda untuk membacanya. Silahkan!

Sebelum saya tutup tulisan pendek ini, ada baiknya saya sisipkan juga komentar dan "pengalaman" editor "Carios Si Urat Emas" sekaligus bos Silantang, Lugiena De. 

"Mendirikan Silantang dan menerbitkan Si Urat Emas bagi saya adalah proyek main-main yang akhirnya tidak main-main. Proses yang sebetulnya gampang, tetapi menjadi menguras tenaga, karena -selain ngamimitian, mengawali - semua ini dikerjakan di tengah hajaran tugas-tugas administrasi guru yang maha tidak menarik, serta pekerjaan mengedit buku Geger Sunten orderan Mang Haji Taufik Faturohman," kata Dea. "Tanpa bantuan beberapa pihak, terutama Mang Dadan Sutisna, buku ini tidak mungkin terbit 2018. Tanpa bantuan Kang Nunu pula, kaver buku ini mungkin hanya sekedar ide yang tidur lelap di dalam kepala," kata Dea lagi, seraya berterimakasih kepada saya.

Bahkan, kata Dea, sampai detik ini Silantang belum diurus NPWP-nya. "Kewajiban membayar pajak kepada negara belum saya tunaikan. Untuk itu saya memohon maaf kepada Pak Jokowi dan Ibu Sri Mulyani. Semoga mereka berdua mengerti," kata Dea.

Ia pun tak lupa memberi penghormatan dan berterimakasih kepada Godi Suwarna. "Buku ini tentu saya persembahkan kepada Mang Prebu Godi Suwarna, seseorang yang banyak menghutangkan budi kepada saya di alam lain. Kegembiraan saya mungkin lebih besar dari kegembiraan belio sendiri. Karena bagi belio mah buku ini téh anaknya yang kesekian. Tapi bagi saya, Si Urat Emas itu anak cikal," ujar Dea.

"Insya Allah, proyek penerbitan selanjutnya sedang menunggu. Akan saya kerjakan bersama gelandang sayap kiri Persib, Lord Atep Kurnia. Pidu'ana we," tandas Lugina, berseloroh sambil meminta do'a dari kita semua.

*) Artikel ini pertama kali tayang di wall status penulisnya. Ditayangkan ulang di sini atas izin yang bersangkutan.

Kahiyang Ayu dalam balutan busana ala artis K-Pop. [instagram-kahiyangayu]

Dua hari ini, akun instagram Kahiyang Ayu gunjang-ganjing. Yang jadi sebab, lagi-lagi, putri semata wayang Presiden Joko Widodo yang dikenal suka tampil sederhana dan natural itu membuat kejutan. Jum'at, 28 Desember 2018, ia memajang fotonya dalam balutan busana ala artis K-Pop. 

Dengan aura warna merah yang mendominasi, isteri Bobby Nasution itu benar-benar cetar dan membuat pangling. Rambutnya ditata dengan bentuk pita atau hair bow, ala Miki Mouse. Tak pelak, ditambah ekspresi dan make-up-nya, gaya rambut itu memberi kesan genit dan centil yang selaras. 

Selain make-up, outfit Kahiyang pun menunjang tampilan. Untuk look photoshoot-nya, ia mengenakan tiga layer atasan, di antaranya kaos berwarna cokelat, kemudian dilapisi dengan vest semi formal warna gelap dengan kancing di bagian ujung lengan.

Pada layer ketiga, Kahiyang menutup tubuhnya dengan jaket wol berwarna nude. Sebagai bawahan, ia  mengenakan celana panjang senada dengan warna jaketnya.

Konon, potret karya fotografer artis Diera Bachir yang melibatkan fashion stylist Doley Tobing dan  Victoria Makeup Atelier itu  merupakan bagian dari promosi toko kue milik artis Chacha Frederica, House of Sweets. Toh, tak sedikit netizen yang "histeris" menyaksikan kejutan akhir tahun ala Kahiyang itu.

Kampung Toronan Semalam, kampung sakura di Pulau Madura. [bangsaonline]
Entah bagaimana mulainya, bunga sakura yang identik dengan Negeri Jepang menjadi popoler belakangan ini. Sejumlah kota dan tempat wisata menawarkan keelokan bunga tersebut sebagai daya tariknya. 

Dan kini, giliran Kampung Toronan Semalam, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Madura, yang mengidap "demam sakura" ini. Di kampung yang berada di atas pebukitan berhawa sejuk ini kita bisa menikmati keindangan bunga sakura. Lengkap dengan gubuk-gubuk beratapkan ilalang. Apa kaitan hunai ala Papua itu dengan bunga sakura? Janganlah pula pertanyaan itu dimunculkan. Simpanlah. Nikmati saja keelokan absurd ini.



Toh, kondisi tersebut cukup menarik bagi wisatawan yang berniat melepas penat setelah seharian bekarja. Gubuk beratap alang-alang itu bisa dijadikan tempat berteduh, sekedar duduk-duduk. 

"Saat bersantai, pengunjung akan dimanjakan dengan indahnya bunga Sakura yang saat ini sedang berbunga dan terhampar di depan mata. Tak pelak, keelokan obyek wisata tersebut mulai ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun dari luar Pulau Madura," tulis sebuah media online yang menjadi sumber penulisan "artikel" ini.

Konon, banyak yang menilai, berkunjung ke Kampung Toronan Semalem sangat cocok untuk mengisi liburan. Apalagi libur akhir tahun seperti saat ini.

Sementara, lokasi Wisata Kampung Toronan Semalem pun tak terlalu sulit untuk dicapai. Hanya sekitar 5,5 km arah utara dari Pamekasan. Bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan roda 2 maupun roda 4. Di atas bukit juga sudah ada tempat berjualan makanan dan minuman tersebut.



"Sungguh indah ngak kalah dengan tempat wisata di daerah lain, Mas," ujar Ita, pengunjung wanita yang kedapatan sedang asik berselfie ria dengan teman-temannya. "Kayak di Jepang aja, nih," ujar Puput, pengunjung lain yang juga datang bersama dengan teman-temannya.

Dengan hanya membayar Rp. 5000, pengunjung bisa menikmati keindahan panorama yang lain daripada yang lain. Dijamin, tidak akan rugi. Apalagi suasana Negeri Sakura sangat terasa di obyek wisata eksotik yang dibangun di atas bukit bekas galian batu bata tersebut. (Rupanya, inilah nilai lebih sebenarnya dari obyek wisata satu ini: Menyulap bekas penggalian batu bata menjadi "kebun" sakura!) Keindahanya tidak bisa dibayangkan. Harus dibuktikan sendiri. Dengan datang ke lokasi, tentunya. (err/lan/bangsaonline)
Amien Rais [facebook-jarotdoso]

Jarot Doso, menyelesaikan S1 dan S2-nya di Fisipol UGM, pernah menjadi Ketua Tim Sosialisasi Platform PAN DIY dan wartawan beberapa media cetak, kini bekerja sebagai redaktur Jokowi App, aplikasi resmi Jokowi-Ma’ruf Amin.

Saya mengikuti kiprah Amien Rais secara dekat sejak Soeharto menjelang lengser. Ketika aksi sejuta massa di alun-alun kota Yogyakarta tahun 1998, saya bersama Ali Rizkatillah Audah, menjadi koordinator presidium Jaringan Islam untuk Pembebasan Rakyat (JIPRA). Ali adalah mantan fungsionaris Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).

Di dalam JIPRA antara lain tergabung eksponen Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, IPM, Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid (BKPRMI), dan beberapa unsur Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) lain. 

Kami aktif memobilisasi ribuan massa menuju alun-alun Yogyakarta untuk mendukung Amien Rais yang menuntut Soeharto lengser. Amien Rais ketika itu di mata kami bagaikan ksatria pemberani yang berdiri di barisan depan untuk melawan diktator Orde Baru, Soeharto. 

Setelah Soeharto lengser, kami melihat potensi kekuatan Orde Baru yang ingin bertahan akan memakai isu SARA untuk mengadu domba masyarakat secara horizontal. Untuk itu, kami bersepakat mempertemukan tokoh-tokoh lintas agama di kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jl. KHA Dahlan, Yogyakarta. Saya bersama Izzul Muslimin, Ketua Koordinator Nasional (Kornas) AMM kala itu, menjadi panitia pengarah pertemuan ini. 

Saat itu kami berhasil menghadirkan tokoh Katolik Romo YB Mangunwijaya, tokoh Protestan Th Sumartana, dan Amien Rais sendiri. KH Said Aqil Siraj yang mewakili unsur NU berhalangan hadir. Para tokoh ini kami minta membicarakan agenda demokratisasi pasca Soeharto lengser.

Alhamdulillah, sambutan Romo Mangun sangat luar biasa kala itu. Romo Mangun yang kami kontak sedang berada di Australia, langsung memutuskan pulang agar bisa mengikuti pertemuan di PP Muhammadiyah ini. 

Ketika kami menyambut dan mengantar Romo Mangun masuk gedung PP Muhammadiyah, ia berujar: “Seumur hidup baru kali ini saya menginjakkan kaki di kantor PP Muhammadiyah.” Wajah Romo Mangun sumringah, bahagia. 

Yang membuat saya terharu, anak-anak muda Muhammadiyah memperlakukan Romo Mangun dengan penuh hormat. Beberapa di antaranya bersalaman, sembari mencium tangan Romo Mangun, bagaikan santri NU memperlakukan kiainya. 

Pertemuan para tokoh lintas agama tadi akhirnya menelurkan saling pengertian untuk bersama-sama mencegah digunakannya isu SARA untuk memecah belah bangsa dan negara, meski gagal mencegah konflik Ambon, Poso, dan Sampit. Karena itu, ketika muncul gagasan Amien Rais untuk mendirikan partai terbuka dan pluralis bernama Partai Amanat Nasional, saya, Ali Audah, dan Izzul Muslimin serta kawan-kawan lain pendukung Amien Rais saat itu antusias menyambutnya. Kami pun bergabung ke PAN. 

Dengan partai pluralistik, maka pilihannya adalah menampilkan wajah Islam yang “rahmatan lil alamin” , yang inklusif, yang ramah dan mengayomi umat lain yang berbeda keyakinan. Pilihan lainnya adalah menampilkan wajah Islam yang eksklusif, Islam yang “izzul Islam wal Muslimin”, yang tertutup dan lebih mengutamakan kepentingan umat Islam saja. 

Keinginan mendirikan partai eksklusif Muhammadiyah juga kurang menarik perhatian kami. Sebab hal itu akan berbenturan dengan kredo atau khittah Muhammadiyah yang memutuskan tidak melibatkan diri dalam politik praktis; politik dalam rangka memperebutkan kekuasaan.

Ini bukan berarti Muhammadiyah apolitis. Muhammadiyah tetap berpolitik, tetapi politiknya Muhammadiyah, menurut istilah Amien Rais ketika itu, adalah politik adiluhung atau "high politics". Politiknya Muhammadiyah adalah politik kenegaraan; politik dalam arti ikut memberi masukan demi kemaslahatan bangsa dan negara. 

Dari gagasan Amien Rais soal "high politics" ini, setelah melalui penggodokan, akhirnya melahirkan Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara pada era Ketua PP Muhammadiyah dijabat Buya Syafii Maarif.

Khittah atau pedoman berpolitik Muhammadiyah itu menegaskan kembali bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Bahwa politiknya Muhammadiyah adalah politik adiluhung atau "high politics". Bukan politik rendah demi meladeni ambisi berkuasa kelompok maupun orang per orang. 

Muhammadiyah mengambil jarak dari sikap partisan untuk mendukung atau tidak mendukung partai atau tokoh tertentu yang terlibat dalam kontestasi politik demokratis pasca Orde Baru. 

Oleh karena itu, ketika akhir-akhir ini kita mendengar Amien Rais meminta PP Muhammadiyah bersikap aktif dalam ajang Pilpres 2019 ini, dengan ikut mendukung Prabowo, hal itu justru inkonsisten, kontradiktif, dan mengkhianati warisan mulia Amien Rais di Muhammadiyah sendiri. 

Hanya demi kebencian kepada Jokowi atau demi ambisi pribadi dan partai koalisinya untuk berkuasa, Amien Rais telah mempertaruhkan nasib organisasi dakwah Muhammadiyah yang telah berumur 106 tahun. Itulah mengapa Amien Rais saya sebut salah satu “produk gagal” Muhammadiyah.

Saya bersyukur, jajaran PP Muhammadiyah tidak lembek menghadapi tekanan Amien Rais itu. Jangan sampai organisasi Islam Berkemajuan yang berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa ini menjadi korban, hanya demi memenuhi nafsu petualang politik segelintir kader Muhammadiyah. 

“Muhammadiyah tidak bisa ditekan-tekan oleh siapapun, dari manapun, dengan cara apapun," tegas Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti

Bayangkan, ada 9 ribu lebih sekolah Muhammadiyah sejak TK hingga SLTA, dua ribu lebih rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dua ratus lebih perguruan tinggi, belum lagi panti asuhan dan pesantren, yang bernaung di bawah payung Muhammadiyah. 

Terlalu banyak hal akan dikorbankan jika potensi Muhammadiyah yang luar biasa ini dipertaruhkan hanya demi meladeni ambisi sosok petualang politik seperti Amien Rais. 

Apa yang dilakukan Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini, yakni Dr Haedar Nashir, sudah tepat. Yaitu Muhammadiyah secara institusi menjaga jarak dari semua pihak yang berkontestasi dalam pemilu 2019, baik pileg maupun pilpres.

Adapun jika baru-baru ini PP Muhammadiyah menyerahkan enam poin usulan untuk bisa diakomodasi dalam naskah Nawacita 2 Presiden Jokowi, itulah justru contoh implementasi dari sikap "high politics" Muhammadiyah. Yakni, Muhammadiyah ikut terllibat aktif dalam hal proses pengambilan kebijakan strategis atau menyangkut masa depan bangsa dan negara. 

Usulan yang sama juga akan disampaikan kepada pasangan Prabowo-Sandi. Siapapun yang akan memenangkan Pilpres 2019, tidak masalah bagi Muhammadiyah dan dipersilakan mengadopsi keenam usulan tadi menjadi kebijakan atau visi misinya. Karena komitmen Muhammadiyah, seperti ditegaskan Haedar Nashir, bukan kepada orang per orang, tetapi lebih kepada substansi atau nilai-nilai yang diperjuangkan. 

Keenam usulan untuk pasangan capres-cawapres itu adalah sebagai berikut: 

Pertama, menjadikan nilai-nilai agama yang hidup di tengah bangsa Indonesia sebagai nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Kedua, menjadikan atau meneguhkan Pancasila sebagai landasan, filosofi, alam pikir seluruh warga bangsa dan pengelolaan negara. Sehingga Pancasila betul-betul terwujud dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Ketiga, menyusun dan melaksanakan kebijakan ekonomi baru yang berkeadilan sosial dan pemerataan sebagai usaha untuk mengatasi kesenjangan sosial. 

Keempat, menegakkan dan mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara sebagaimana amanat konstitusi, sehingga kita menjadi bangsa dan negara yang kokoh dan berkemajuan.

Kelima, penguatan daya saing sumber daya manusia Indonesia untuk berkompetisi di ranah global. Di sini pentingnya rekonstruksi dan revitalisasi pendidikan nasional.

Keenam, meningkatkan peran yang sudah dirintis Presiden Jokowi, yakni bersikap proaktif di lingkungan dunia Islam dalam skala global. 

Usulan itu disampaikan secara terbuka. Bila Anda caleg atau timses capres kubu sebelah, silakan saja usulan itu dijadikan visi misinya dan diperjuangkan. Karena siapa pun pemenang Pileg atau Pilpres tidak masalah bagi Muhammadiyah, asal nilai-nilai yang diusulkan tadi dapat terealisasi dalam praktik kenegaraan. []

*) Artikel ini pertamakali tayang di wall facebook penulisnya. Ditayangkan ulang atas izin bersangkutan.


Oleh : Muhammad Jawy

Keributan di media sosial terkait Freeport beberapa waktu belakangan ini diakibatkan salah satunya karena kita sendiri tidak memahami dokumen kontrak karya yang kontroversial itu, bahkan membaca pun barangkali tidak pernah, tetapi kita nekad masuk ke arena perdebatan dengan menggunakan kacamata fragmentasi politik, khususnya dengan konteks politik sekarang ini.

Beberapa generasi muda mungkin juga perlu mengetahui konteks ketika KK2 itu ditandangani, yaitu tahun 1991, di puncak keemasan Era Orde Baru. Ketika itu tak boleh ada perbedaan pendapat yang mengkritik pemerintah. Pers pun dibungkam, dengan ancaman breidel, tutup paksa, kalau nekad mengkritik.

Jika ada masyarakat yang berani membahas issue seperti ini, sangat mungkin ia sudah menjadi target dari para intel, kaki tangan Orba yang amat ditakuti karena bisa menentukan hidup matinya seseorang. Bukan tidak mungkin, gelaran PKI akan disematkan untuk rakyat yang mencoba kritis.

Banyak dari kita yang baru bisa mengakses dokumen yang sensitif seperti ini, setelah Orde Baru tumbang, Soeharto beramai-ramai diturunkan. UU Pers diundangkan Habibie, dan teknologi internet membuat konten mudah dipublikasikan di dunia maya.

Jika kita tengok ke dokumen KK2 ini, nyata sekali kedurjanaan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto, yang menyulitkan pemerintahan Indonesia selanjutnya. Ini adalah pasal karet yang menjadi masalah yang sulit diselesaikan.

Apa bunyinya?

Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 years from the date of the signing of this Agreement; provided that the Company shall be entitled to apply for two successive ten year extensions of such term, subject to Government approval. The Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by the Company may be made at any time during the term of this Agreement, including any prior extension.

Kuncinya: Freeport punya hak perpanjangan 2x10 tahun yang tidak boleh dihambat oleh pemerintah tanpa alasan yang kuat.

Pasal inilah yang memberi ruang bagi ketidakpastian hukum, dengan posisi Indonesia sangat lemah. Sudah pasti yang memasukkan pasal ini bukan orang sembarangan, karena dampak dari pasal ini yang sangat besar.

Ada yang menyebut, khan bisa kita pakai alasan Freeport sudah merusak lingkungan yang cukup parah? Atau Freeport seharusnya tunduk patuh dengan UU Minerba 2009 yang disahkan SBY?

Boleh saja berpendapat seperti itu, tetapi sayangnya yang akan membuat penilaian dan keputusan tidak bisa satu pihak pemerintah atau Freeport saja, melainkan dari forum Arbirtrase Internasional. Di percaturan internasional, tentu saja kita tidak bisa senaif bahwa arbitrase akan selalu menjunjung keadilan, kebijaksanaan. Apalagi yang dilawan adalah entitas berpengaruh dari negara adidaya yang masih menjadi polisi dunia. Bukan tidak mungkin, meski kita didzalimi selama puluhan tahun, kita kalah di forum internasional. Dan harus membayar sangat mahal, karena ini kasus yang melibatkan potensi bisnis hingga ribuan trilyun.

Pemerintah SBY sudah mencoba untuk bernegosiasi dengan Freeport, apalagi dengan senjata barunya UU Minerba 2009, tetapi selalu gagal, karena diancam akan diarbitrasikan. Sudirman Said di awal pemerintahan Jokowi pun juga ikut mengusik kenyamanan Freeport, namun belum mengangkat posisi tawar yang kuat bagi pemerintah RI.

Maka masuklah si orang akuntansi yang sebelumnya diberhentikan (konon) karena berani ngeyel kepada Presiden dalam beberapa issue perhubungan, Jonan. Ia diangkat kembali oleh Presiden sebagai menteri ESDM tandem dengan Archandra yang sempat sibuk membereskan masalah kewarganegaraan.

Jonan memulai ulang adu jab dengan Richard Adkerson CEO Freeport menjadi "Battle of Wits", adu kercerdasan untuk mengalahkan lainnya, yang kemudian sangat menentukan masa depan tanah emas Papua. Sempat menjadi panas salah satunya ketika Jonan memaksa Freeport segera menyelesaikan smelter atau ijin ekspor dihentikan, yang berdampak Freeport sempat menghentikan operasi pertambangannya selama beberapa waktu. Ini mungkin pertama kalinya Richard merasakan jab telak di mukanya, yang mungkin membuatnya jadi berpikir, "Oh, sekarang Indonesia mau main serius rupanya?".

Richard-pun sempat menggunakan jurus meradang, yaitu mengancam (kembali) mengajukan arbitrase, yang artinya perang terbuka melawan pemerintah RI. Namun beberapa kali pertemuan digelar baik di Jakarta ataupun di Amerika, seperti menyadarkannya bahwa Indonesia yang dihadapi sekarang, berbeda dengan Indonesia yang dihadapinya dulu.

Di sela Battle of Wits itu, seperti yang disebut oleh Dahlan Iskan, Jonan dan tim berhasil menemukan celah, yaitu menaklukkan Freeport melalui jalan yang tak disangka: celah diantara kesepakatan Freeport dan Rio Tinto. Tentu saja Jonan tak sendirian, dukungan kuat dari Presiden dan tiga menteri wanita di kabinet, membuat akhirnya Indonesia kembali berdaulat di tanah emas Papua.

Dalam Battle of Wits ini, kemenangan strategis jelas diraih oleh Jonan dan Indonesia. Namun kemenangan ini tetap memberikan kemenangan yang lain bagi induk usaha Freeport McMoran, ia bersama dengan Inalum mewakili entitas Indonesia yang sekarang menjadi pemegang saham mayoritas, bisa bekerjasama hingga 2041 menambang tanah emas terbesar di dunia.

Dengan mayoritas saham ada di Indonesia, diharapkan proses transfer pengetahuan, penanganan issue pencemaran lingkungan, bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Kesejahteraan Papua akan meningkat tajam dengan pembagian yang semakin besar, mulai dari laba bersih dan juga 10% saham. Sesuatu yang harus dirayakan bersama, oleh rakyat Papua, oleh rakyat Indonesia.

Namun jangan lupa, bahwa upaya ini harus tetap diawasi bersama, supaya tidak ada hak rakyat yang terlewat dari tujuannya.

-Zek

Lampiran: File KK II Freeport 1991

https://www.sec.gov/…/…/831259/000083125901500022/exh101.txt



Sunardian Wirodono [facebook-suanradianwirodono]
Sunardian Wirodono, Writer, Interviewer, TV Programs Designer, Script-writer, Freelance (Buruh Harian Lepas)

Selama ini para cendekiawan mengira, penindasan negara dan perluasan campur tangan aparat dalam kehidupan masyarakat, akan dijawab oleh masyarakat dengan revolusi liberalis, sosialis, bahkan komunis. Padahal, kesimpulan Ong Hok Ham, marhum sejarawan sohor kita dalam tulisannya (1984), dari dulu sampai kini jawaban masyarakat bisa juga melalui agama.

Mengutip Benda mengenai peralihan agama di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) terjadi pada zaman yang sama, juga dalam spirit secara politis dan sosiologis yang dalam. HJ Benda menyandingkan yang terjadi dengan para bhiksu ketika melawan Ngo Dien Dhiem di Vietnam Selatan, peran para pongyi atas pemberontakan Saya Sen di Myanmar 1930an, atau juga peran ulama dalam Pemberontakan Cilegon (1882) di Indonesia.

Secara tajam Benda mengatakan perubahan Chiva-Buddha di Asia Tenggara ke Islam di Jawa pada abad 14-16, tidaklah unik. Buddha, khususnya Theravada dan Islam, memiliki ciri lebih kerakyatan dibanding agama sebelumnya yang lebih Brahmanisme, atau lebih melegitimasi konsep dewa-raja.

Senyampang itu, sebagaimana dikisahkan dalam Pararathon tentang para Brahmana yang meninggalkan Tunggul Ametung, untuk mengakui Ken Arok sebagai raja. Sekali pun contoh ini, dibanding situasi zaman Sultan Agung, bisa tak sebanding kompleksitasnya. Apalagi bila dibanding bagaimana tragisnya nasib Sunan Amangkurat I, yang membunuh ribuan ulama demi menegakkan kekuasaannya.

Kesadaran kelompok Prabowo, dengan framing agama yang dihembuskan (dan bagaimana kelompok Jokowi mereaksi), saya kira seperti disimpulkan Ong, agama disadari mempunyai peranan ideologi untuk dimainkan dalam konteks (perebutan) politik kekuasaan. Lihat misalnya turunnya Sah Iran Reza Fahlevi. Bagaimana tim Prabowo mencoba mereduksi dan mendeligitimasi citra Jokowi, isu dan sentimen apa yang mereka bangun (berawal dari Rob Allyn influencer atau pun Eep Saefulloh Fatah dalam gerakan ini). Apalagi merunut Sydney Jones, hanya Islam dalam bentuk mistik yang dapat menyebar ke Indonesia karena alam rohani masyarakatnya.

Pertarungannya selalu saja antara kapitalisasi dan antisipasi, antara minoritas ekstrim dengan kelompok majoritas namun dengan militansi rendah. Itu dilema ucapan Gus Dur, “jika agama membawa pesan-pesan kasih, kaum ekstremis memutarbalikkannya.” Dan sebagaimana kata Slamet Maarif, bisa jadi kelompok ini akan terus bermain di grey area, sebagai OTB (organisasi tanpa bentuk), dan subversib. Lebih karena ketidakpercayaan diri mereka. Tidak mudah (kini) membangun soliditas dan militansi, ketika turun nabi pun tak berani balik ke Indonesia karena sangkutan hukum.

Agama memang lebih untung jika jadi parpol, tapi dalam format tak berformat, klandestin. Sehingga bisa teriak-teriak agar orang menjual mobil, untuk patungan biaya kampanye politik. Karena Allah akan menggantinya berlipat-lipat. Dan ada yang percaya, takut kecemplung neraka. Karena kebodohan tak mengenal agama.

*) Artikel ini ditayangkan penulisnya di akun facebook bersangkutan. Ditayangkan ulang di sini atas izinnya.
Interior GIA Restoran. [intagram-gia]
Menjelang akhir pekan, sejumlah deadline masih belum terselesaikan. Alamat akan menghabiskan weekend di kantor. Semangat bukannya berkobar, malah menyurut. 

Saya SMS teman saya. Menanyakan restoran yang harus dicoba, pemompa semangat menjelang weekend. “GIA, di Sudirman,” jawab dia tak begitu lama. 

Saya browsing sebentar, langsung reservasi. Untuk satu orang. Setelah membasuh diri di shower, sekadar menyegarkan badan, saya langsung meluncur ke lokasi yang disebutkan. 

Terletak di Sampoerna Strategic Square, Sudirman,Jakarta, GIA Restoran menawarkan konsep Italian semi fine dining. Interiornya modern, tapi tetap cozy. Selain meja panjang panjang untuk sepuluh orang dan meja bundar, ada pula wall sofa yang terbentang di samping kaca. Saya memilih duduk di sofa panjang itu. 

Sesuai dengan saran kawan saya, saya memesan fusi di pollo e polenta. 

Polenta, salah satu makanan khas Italia yang terbuat dari jagung, memang cukup popular belakangan ini. Di Italia ia kerap ditemani dengan berbagai makanan lainnya. Selain itu, polenta juga memiliki aneka jenis. Mulai dari fried polenta, baked polenta, hingga cheese polenta

Dan di GIA, fusi di pollo e polenta disajikan dengan chicken confit, black truffle, dan  swiss brown mushroom. Gorgonzola porlenta ini teksturnya mirip dengan mash potato. Cocok sebagai menu utama makan siang maupun makan malam. 

Dan Kamis malam itu, saya mencoba menu tersebut. Sebagai appetizer, saya memilih crispy portobello truffle & cheese. Pilihan yang tepat, saya kira. Jamur crispy dengan cheese olahan ini rasanya unik. Tetap crispy walaupun sudah disiram lelehan keju di atasnya. 

Selain porlenta, saya memesan crispy beef bucantini carbonara pasta bucantini yang katanya diekspor langsung dari Itali. Plus san daniele & burrata pizza, piza tipis dengan irisan tipis ikan salmon, mozzarella, burrata dan bassil. Seperti biasa, saya lebih suka pizza tipis yang tepi nya masih crunchy itu. 

Sebagai penutup, saya mengandalkan tiramisu classico

Dan Kamis malam pun semakin sempurna. Diiringi live music, makan malam saya benar-benar mengesankan. Menjelang pukul 11 malam, saya kembali ke kantor. Dengan perut kenyang dan hati berbunga-bunga.

Budi Cocot Marziani

Lenovo ThinkPad X1 Carbon G6. [lenovo]

Ketika memilih laptop yang tepat, semuanya bermuara pada budget dan rencana menggunakannya. Untuk apa dan bagaimana menggunakannya. Sementara, di luar sana banyak sekali pilihan. Dan itulah masalahnya: Kita kerap bingung mana yang harus kita pilih? 

Untunglah ada media seperti techspot, yang secara profesional memberi penjelasan teknis terhadap berbagai produk industri IT. Dan setiap akhir tahun mereka memilihkan kita mana produk terbaik. Termasuk laptop. 

Untuk laptop, pilihan mereka pun tak hanya satu. Mereka memiliki sedikitnya enam kategori laptop terbaik: Terbaik secara keseluruhan, laptop konvertibel terbaik, terbaik untuk laptop dengan layar 15 inch, terbaik dari segi harga dan kualitas, terbaik untuk gaming, dan terbaik untuk kategori Macbook. 

Selain melakukan penilaian di antara tim techspot sendiri, pemilihan “The Best” ini juga menjadikan para pengguna sebagai juri. Hasil kedua tim penilai itu kemudian dikompilasikan, berupa skore dua digit angka. 

Dan tahun ini, untuk kategori Terbaik Secara Keseluruhan, pilihan jatuh kepada dua laptop: Dell XPS 13 dan Lenovo ThinkPad X1 Carbon. “Banyaknya produk laptop ultraportabel berkualitas tinggi sata ini, mulai dari Dell hingga Asus, Microsoft, Lenovo, Apple, HP, dan banyak lagi, yang semuanya memiliki opsi laptop premium yang fantastis, membuat pemilihan kategori ini paling sulit,” kata Shawn Knight, senior editor, mewakili rekan-rekanya. “Dan sejujurnya, untuk sebagian besar kita tak akan salah pilih dengan banyak model unggulan ini,” tambah Shawn. 

Secara umum, kedua laptop ini memiliki kualitas developer yang solid, layar besar, masa pakai baterai yang lumayan panjang, dan desain industry yang lebih dari sekadar memadai. Di pasaran, harga XPS 13 mulai dari US$ 1.050 untuk model basis i5-8250U, 8GB, 256GB PCIe SSD. Sedangkan ThinkPad X1 Carbon, untuk pengaturan dasar yang sama, berharga lebih mahal. Sekitar $ 1,360. 

Lenovo ThinkPad X1 Carbon adalah pilihan laptop bisnis top-end, yang menawarkan layar IPS 14 inch, konektivitas hebat termasuk dual Thunderbolt 3 port, keyboard yang juga hebat dan penyimpanan NVMe yang cepat. Tidak ada pilihan untuk GPU diskrit, tetapi jika Anda beruntung Anda dapat menangkap salah satu dari banyak penawaran yang ditawarkan Lenovo sepanjang tahun. 

ThinkPad X1 dapat dikonfigurasi dengan sejumlah opsi tampilan termasuk layar sentuh atau Dolby HDR. Webcam-nya kompatibel dengan Windows Hello meskipun ia juga menawarkan sensor sidik jari. Untuk melengkapi fitur bisnisnya, ThinkPad menawarkan akses docking dan dapat dilengkapi dengan konektivitas global LTE-A. Semuanya pada paket 2,49 lb. “Opsi yang tidak buruk,” kata Shawn. 

Sementara, XPS 13 pun ultraportable yang sama mengesankan. Juga siap untuk bisnis, walau ia dibangun terutama dan utama sebagai laptop komputasi. Revisi terbaru dari XPS ini lebih ramping dibandingkan abannya. Sistem pendinginnyaa pun mendapatkan sentuhan baru, sebagaimana keyboard dan touchpad yang kemampuannya ditingkatkan. Ini membuat CPU Core 8-gen yang sama mampu melakukan penyimpanan NVMe lebih cepat. Selain itu, model ini juga menawarkan opsi layar 4K (1080p IPS standard). 

Dell XPS 13. [laptopmag]

Demi meraih kerampingannya, XPS kehilangan dukungan untuk port USB berukuran biasa. Toh, ini menawarkan banyak konektivitas. Meskipun, USB-C dan DisplayPort/Thunderbolt 3 disertakan, juga slot microSD - dan webcam nostril menjadikannya sesuatu banget.
Demo anti Ahok, Oktober 2016. [tribunnews]
Noorca M. Massardi, penyair/novelis dan wartawan, kakek dua cucu, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan.

Indonesia memang negara anomali sejak kelahirannya. Bersuku-suku tapi (masih) bisa bersatu. Beratus bahasa daerah tapi mau berbahasa satu. Berpenduduk mayoritas muslim tapi bukan negara Islam. Terpapar teknologi informasi paling canggih di dunia, tapi kenyataan sehari-hari masih sangat terkebelakang. Nyaris bebas buta huruf, tapi menjadi negara terburuk karena tidak doyan membaca.

Demokrasi Indonesia juga sudah bermetamorfosis a la Indonesia. Diawali demokrasi parlementer, menjadi demokrasi terpimpin, lalu demokrasi Pancasila-Orde Baru, akhirnya, menjadi demokrasi semaunya, pasca 1998. Kendati negara hanya mengakui satu ideologi, yakni Pancasila, namun pada dasarnya, partai-partai politik yang ada tidak menjadikannya sebagai ideologi tunggal. Maka berbeda dengan di negara demokratis lainnya, partai-partai yang berkuasa dan yang beroposisi, tidak punya ideologi sama sekali. Setiap pemilihan umum, tidak pernah ada pertarungan antarideologi. Tidak ada kiri lawan kanan. Tidak ada ideologi agama lawan sekularisme. Karena semua partai politik hanya mengakui satu kesamaan ideologi: pragmatisme. Tujuannya pun satu dan sama: kekuasaan dan uang.

Maka pasca 1998, dari pemilu ke pemilu, dari pemerintahan ke pemerintahan, partai-partai politik hanya memanfaatkan emosi massa sesaat, untuk meraih suara terbanyak dan akhirnya mendapatkan kursi di parlemen. Massa yang pada setiap kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden, dibujukrayu dan dihasut sentimen primordialnya, begitu usai pemilu, lalu ditinggalkan.

Contoh paling spektakuler adalah dalam kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta April 2017. Penolakan terhadap kandidat populer Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan memanfaatkan emosi massa melalui sentimen agama, berhasil dimenangkan Anies Baswedan. Suasana “perang saudara” yang seolah di ambang pintu (pokoknya ganti Ahok), lenyap seketika Anies terpilih. Sesudah itu, radikalisme, ancaman kerusuhan akibat sentimen suku, agama, ras, antargolongan (SARA), tidak terjadi. Mengapa? Karena baik partai pendukung pemenang, maupun partai pendukung yang kalah, sama-sama hanya memiliki satu ideologi: pragmatisme (kekuasaan dan uang). Begitu kekuasaan diraih, dan uang dalam pelbagai bentuknya disalurkan, kondisi kembali tenang. Kekuasaan terbagi merata di parlemen DKI, dan aneka janji dan fanatisme selama kampanye, hilang tanpa bekas. Bahkan para pemilih tidak peduli lagi apakah gubernur baru mereka bekerja atau tidak.

Apa yang terjadi di DKI Jakarta (2017), bisa terproyeksikan (dan sedang direkaulang) pada pemilihan legislatif dan pemilu presiden 2019. Kampanye menghalalkan segala cara, membakar emosi massa dengan sentimen SARA, digelar di hampir seluruh wilayah. Aneka riset dan survei elektoral menunjukkan, kenaikan suara pendukung capres/cawapres penantang (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) dari waktu ke waktu terus meningkat. Sementara suara pendukung capres/cawapres petahana (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) cenderung menurun. Walau pun, perubahan itu terjadi hanya karena mereka yang belum menentukan pilihan mulai melirik ke salah satu pasangan calon.

Apa pun yang terjadi pada 2019, tampaknya juga akan mengulang apa yang terjadi pasca 1998. Semua partai politik, pada dasarnya, dan pada tahapan awalnya, akan berusaha meraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif, yang mendahului Pilpres. Karena itu, maklum bila mereka tidak terlalu peduli pada naik-turunnya popularitas kedua pasangan capres/cawapres. Termasuk dari parpol pendukung masing-masing capres/cawapres. Mereka lebih peduli kepada berapa jumlah perolehan suara/kursi di DPR/DPRD. Semakin banyak kursi yang mereka dapatkan, semakin tinggi posisi tawar mereka terhadap pemerintahan pusat/daerah siapa pun kelak pemenangnya.

Mengingat tidak adanya pertarungan ideologi, dan karena mereka hanya menganut pragmatisme (kekuasaan dan uang), mereka yang seolah-olah bermusuhan dalam persaingan perebutan suara pemilihan anggota legislatif (pileg), pada saatnya, semua akan saling menawar dan memberi konsesi. Tiadanya ideologi yang kuat, pasca 1998, juga mengakibatkan tiadanya kekuatan mayoritas tunggal, yang mampu membentuk pemerintahan sendiri. Karena itulah, siapa pun pemenangnya, harus berkoalisi dengan partai lain. Bahkan dengan yang berseberangan sekalipun. Kabinet Joko Widodo (2014-2019) menunjukkan hal itu. Dinamika politik pragmatis menghasilkan kompromi semua parpol yang semula bersaing, baik dalam pileg maupun pilpres, untuk duduk dalam pemerintahan yang sama.

Panorama itulah yang akan terulang pasca pileg/pilpres 2019. Siapa pun pemenangnya, mereka harus berkoalisi. Tidak ada yang akan peduli pada emosi massa yang sudah dibakar untuk menjatuhkan lawan selama kampanye paralel pileg/pilpres. Karena para politisi yakin dan sudah melihat, suhu tinggi pada pilgub DKI Jakarta, ternyata tidak berdampak apa pun dalam realita kehidupan. Mereka juga tahu, bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan pelupa.

Gambaran itu menunjukkan, andai pun pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin (JW-MA) kalah, tidak ada satu pun partai politik pendukung mereka, yang akan menangisi kekalahan JW-MA. Tidak akan ada tangis darah. Sebab semua parpol itu akan dengan ikhlas dan mudah berkoalisi dengan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno (PS-SU), yang tidak akan memiliki suara mayoritas di DPR RI. Demi kelancaran pemerintahan, semua parpol pendukung PS-SU akan menyambut baik bergabungnya parpol pendukung JW-MA. Yang mungkin akan bersedih hanyalah Partai Demokrasi Indonesia –Perjuangan (PDIP), yang terpaksa harus kembali menjadi oposisi - mungkin dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Begitu pula sebaliknya. Bila JW-MA memenangi (lagi) pilpres 2019, parpol pendukung mereka sekarang, juga akan ikhlas dan menyambut baik, bila Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, mau bergabung dengan partai berkuasa. Demi kelancaran jalannya pemerintahan, dan dukungan mayoritas kursi di DPR. Yang penting, siapa pun pemenangnya, partai politik Indonesia membutuhkan kekuasaan dan uang untuk mempertahankan eksistensinya. Walau pun harus bergabung dengan lawan bebuyutan. Sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa atau Amerika Serikat. Karena demokrasi a la Indonesia, adalah anomali dalam sistem demokrasi Barat. Sebagaimana bangsa dan negara Indonesia sejak awalnya. Bangsa pemaaf dan pelupa.

*) Kolom ini diposting penulisnya di akun Facebook bersangkutan. Dimuatulang di sini atas izin penulisnya.
Suasana Natal di Lebanon. [via suaraislam]
Jarot Doso, kolumnis, mantan wartawan sejumlah suratkabar, menyelesaikan S1 dan S2 dengan spesialisasi politik Islam di Fisipol UGM Yogyakarta.

Sebentar lagi Natal tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Natal merupakan hari raya yang diperingati oleh umat Kristiani (baik Kristen maupun Katolik) di seluruh dunia. Natal identik dengan pohon cemara, lonceng, lilin, dan yang tak kalah menarik: tokoh sinterklas yang senantiasa berbaju merah menyala. Suasana perayaan Natal campur aduk: antara khidmat, syahdu, hingga riang gembira.

Sebagai bukan pemeluk agama Kristen ataupun Katolik, tentu saja saya awam sekali ihwal makna simbolik di balik hiasan-hiasan hari raya Natal tadi. Yang saya tahu, paling-paling, hanyalah bahwa Natal merupakan peringatan hari lahir Yesus Kristus. Yesus inilah yang dalam khazanah Islam dikenal sebagai Nabi Isa al-Masih, salah satu Nabi yang sangat dihormati oleh para pemeluk agama Islam.

Oleh karena itu, saya tak bermaksud membahas makna Natal dalam tulisan ini. Selain saya tak punya kompetensi untuk membahasnya, saya juga khawatir pembahasan saya bisa keliru dan menyinggung perasaan saudara-saudara dan sahabat-sahabat saya yang memeluk keyakinan Kristiani.

Tulisan ini lebih berisikan pengalaman pribadi saya saja, terutama dalam berinteraksi dengan tetangga-tetangga, kerabat, ataupun sahabat-sahabat saya yang beragama Kristen/Katolik. Sebab tiapkali perayaan Natal menjelang atau tiba, saya secara otomatis berkontemplasi seputar hari raya yang jatuh tiap akhir bulan Desember ini. Dan kontemplasi saya itu biasanya terkait dengan hubungan sosial saya dengan mereka tadi.

Yang pertama-tama saya ingat tiap kali Natal tiba adalah dosen saya sewaktu kuliah di Fisipol UGM, Mas Cornelis Lay. Pria yang secara formal pemeluk Kristen ini tiap kali hari raya Idul Fitri tiba selalu mengajak para mahasiswanya yang beragama bukan Islam untuk mengucapkan selamat Idul Fitri kepada para mahasiswa Muslim. Para mahasiswa yang beragama Hindu, Budha, Kristen, dst dia minta berjajar di depan kelas untuk menyalami dan mengucapkan selamat Lebaran kepada para mahasiswa yang beragama Islam.

Demikian pula tiap bulan Ramadhan tiba, Mas Cony (panggilan akrab Cornelis Lay) lazim memperpendek jam kuliah sore hari, karena tenggang rasa kepada para mahasiswa Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa. Kuliah yang mulai jam 14.00 wib, dan seharusnya baru selesai sekitar jam 16.00 wib, biasanya ia "diskon" sehingga cukup sampai jam 15.00 saja.

"Saya tahu kalian yang puasa tentunya sudah mulai lemas," katanya suatu ketika.

Belakangan, kata yunior saya sefakultas, Mas Cony malah acap menggelar acara buka bersama bagi para mahasiswanya di rumahnya, di kawasan Minomartani, Sleman, Yogyakarta.

Ingatan saya yang kedua, tiap kali Natal tiba, jatuh kepada Pak Hartono, pemeluk Kristen Protestan, yang tinggal sekampung dengan rumah orangtua saya di Sragen, Jawa Tengah. Jujur saja, meski Pak Hartono ini kondisi ekonominya pas-pasan dan sehari-hari hanya berprofesi sebagai sopir truk, saya kagum kepadanya. Pak Hartono ini sejak pertama kali tinggal di kampung kami sekitar 25 tahun lalu selalu menunjukkan sikap proaktif yang menyejukkan. Tiap kali umat Islam sekampung kami merayakan Idul Fitri, selalu saja Pak Hartono mengirim kue-kue bagi para jamaah masjid yang sedang melantunkan takbiran semalam suntuk.

Sebagai takmir masjid, saya sendiri sebetulnya tidak tega menerima pemberian Pak Hartono itu. Ini mengingat ia dan keluarganya sendiri hidup sangat bersahaja, bahkan termasuk salah satu tetangga kami yang paling miskin. Namun apa boleh buat, meski dengan sopan saya sudah memintanya tidak perlu mengirim snack untuk jamaah masjid kami yang takbiran, tetap saja dia tiap tahun mengirim bingkisan besar berisi kue-kue untuk jamaah masjid kami.

Kemudian ada kerabat saya sendiri yang juga memeluk agama Katolik. Yang membuat saya sering terharu, justru kerabat kami yang beragama non Islam ini yang paling rajin mengunjungi kami tiap kali Idul Fitri tiba. Selain mengucapkan selamat Idul Fitri, biasanya mereka juga membawa kue-kue atau bingkisan berupa gula dan teh untuk ibu saya yang secara garis keluarga memang lebih sepuh (senior).

Di luar ketiga kisah tadi, masih banyak sahabat-sahabat saya pemeluk Kristiani yang menunjukkan sikap toleransi yang terpuji demikian, yang tak semuanya bisa saya tulis di sini. Itulah kenapa tiap kali Natal tiba, saya pun selalu teringat kepada budi baik mereka. Apalagi agama Islam sendiri, agama yang saya peluk sejak lahir, juga mengajarkan untuk membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang lebih baik. Setidaknya keharuan dan apresiasi saya atas keramahan dan kehangatan mereka, saya harap menjadi semacam kebaikan pula.

Maka, sebagai Muslim, saya kadang merasa malu sendiri dengan sikap saudara-saudara saya seiman yang tega mengganggu kedamaian, kekhusyukan, dan keceriaan perayaan Natal di Tanah Air kita. Bukannya mengucapkan selamat Natal, beberapa orang justru meneror perayaan Natal dengan perilaku tidak terpuji yang dikecam agama Islam sendiri. Sebaliknya, justru tidak sedikit umat Non Muslim yang, secara sadar maupun tidak, telah meneladani perilaku tasamuh (toleran) nabi Muhammad SAW. Termasuk gereja-gereja yang rutin memasang spanduk ucapan selamat Idul Fitri tatkala Lebaran tiba.

Entah, saya tidak tahu, apakah umur saya masih cukup untuk bisa menyaksikan kelak masjid-masjid di Indonesia akan mengucapkan selamat hari raya Natal, Paskah, atau Waisak, atau Galungan...

*) Artikel ini diposting penulisnya di akun Faebook bersangkutan. Ditayagkan ulang atas izinnya.

Tiga produk Dell Inspiron Series terbaru. [dellindonesia]
Dell meluncurkan jajaran notebook terbarunya: Inspiron 13 7000 (7386) 2-in-1, Inspiron 14 5000 (5482) 2-in-1 dan Inspiron 14 5000 (5480). Ketiga notebook ini dirancang untuk bekerja, menonton video, menciptakan konten dan bermain game.

“Saat ini, konsumen menginginkan produk yang mudah dikonfigurasi dan siap digunakan begitu keluar dari kotaknya. Mereka ingin bisa membuat dan berbagi konten antar perangkat dengan mudah, tidak peduli sistem operasi atau bentuk dari perangkat tersebut. Dell terus berusaha untuk membantu para pelanggan kami berinteraksi dengan hal-hal yang paling mereka butuhkan untuk memenuhi tuntutan kinerja, hari ini dan di masa depan,” ujar Tjipto Suparto, Consumer Country Director Dell Indonesia, dalam siaran persnya.

Inspiron 13 7000 2-in-1 (7386) hadir dalam balutan eksterior aluminium yang mulus dan desain yang ramping. Laptop 13 inci ini menghadirkan fitur-fitur premium, termasuk prosesor Intel generasi ke-8 seri U terbaru, layar 4K UHD opsional dan kipas yang dapat mengeluarkan udara panas melalui sistem ventilasi tersembunyi. Kipas tersebut mampu memaksimalkan kinerja laptop dalam waktu lama.

Laptop 2-in-1 ini memiliki bingkai layar yang sangat tipis di ketiga sisinya berkat webcam mini terbaru berukuran 2,7mm yang menampilkan kinerja gambar yang lebih baik dalam cahaya redup dengan Temporal Noise Reduction. Temporal Noise Reduction merupakan kamera USB terintegrasi di notebook pertama. Inspiron 13 7000 2-in-1 dibanderol seharga Rp 16.699.000.

Inspiron 14 5000 2-in-1 (5482) menghadirkan sejumlah pembaharuan terbaru terbaik yang terdapat di seri 7000, termasuk kipas dan bingkai layar yang sangat tipis. Laptop ini diperkuat prosesor generasi ke-8 seri U terbaru. Visualnya, didukung kartu grafis discrete NVIDIA GeForce MX130.

Port USB tipe-C yang bisa digunakan untuk mengisi ulang daya dan dihubungkan dengan layar tambahan, standar port pertama untuk Inspiron seri 5000 juga hadir di laptop ini. Inspiron 14 5000 (5482) 2-in-1 dilepas seharga Rp 9.199.000.

Laptop Inspiron berukuran 14 inci (5480) tersedia dalam pilihan warna Platinum Silver dan Urban Grey, dengan tampilan layar berbingkai tipis di tiga sisi yang melengkapi tampilannya yang modern. Terdapat port USB tipe-C yang bisa digunakan untuk mengisi ulang daya dan dihubungkan dengan layar tambahan, dan pemindai sidik jari opsional yang menyatu dengan tombol daya.

Laptop ini dilengkapi memori DDR4 hingga 32GB, pilihan storage termasuk SSD dan drive ganda, grafis diskret opsional yang mendukung hingga NVIDA GeForce MX150 Graphics, dan keyboard dengan lampu latar opsional. Harganya, Inspiron 14 5000 (5480) dibanderol Rp 10.899.000.
Reuni Akbar 212, 2 Desember 2018. [facebook-tengkuzulkifliusman]
Rupanya, ada seseorang yang mencoba merusak hubungan baik Osamah Muhammad al-Suaibi dengan rakyat Indonesia. Terlebih dengan NU. 

Siapakah yang mencobanya?  Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk 
Indonesia itu tak menyebutkannya. Hanya, demikianlah pernyataan yang disampaikannya kepada Yenny Wahid saat  keduanya berjumpa di Forum for Promoting Peace in Muslim Societies yang diselenggarakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Ahad, 9 Desember 2018.

“Demi Allah saya cinta masyarakat Indonesia. Saya juga menghargai NU dan Muhammadiyah, dan semua organisasi Islam,” kata Osamah, sebagaimana tersaji dalam sebuah rekaman yang diunggah Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok Imron Rosyadi Hamid melalui akun Facebooknya pada Senin, 10 Desember 2018. "Seseorang mencoba menghancurkan hubungan baik antara saya dan Nahdlatul Ulama, antara saya dengan rakyat Indonesia,” kata dia.

“Insya Allah saya akan kembali minggu depan untuk menyelesaikan semuanya,” kata dia lagi, menutup rekaman yang tak sampai satu menit itu.

Sebelumnya, Osamah telah mengundang protes kalangan NU dan jajarannya karena cuitannya di twitter. Dalam cuitan, yang kemudian dihapusnya itu, ia menyebutkan bahwa Reuni 212 yang digelar pada 12 Desember silam tak lain sebagai reaksi terhadap pembakaran bendera yang dilakukan sebuah "aliran sesat". 

Bagi NU, cuitan tersebut tidak patut dilakukan seorang duta besar. Mereka menilainya sebagai turut mencampuri permasalahan negara lain. Sementara, atas insiden pembakaran bendera itu pihak Banser sudah menegur pelakunya. Bahkan, menyerahkan mereka kepada pihak berwajib untuk diadili sesuai hukum yang berlaku. Sedangkan Osama, malah menuduh Banser sebagai "aliran sesat" melalui twitnya itu. Tak pelak, PBNU meminta pemerintah mengusir Dubes Osama.

Mudah-mudahan pernyataan Osamah itu, terutama ihwal "mencintai" dan "menghargai", bisa terwujud dengan baik -- termasuk direspon semua pihak dengan baik. Walau, kita tetap bertanya-tanya: Siapakah gerangan yang mencoba menghancurkan hubungan baik dia dengan rakyat Indonesia dan khususnya dengan NU itu? 

Nikita Mirzani [jpnn]

Nikita Mirzani bisa dibilang sosok kontroversial. Komentar dan celetukannya di pers maupun medsos kerap menyeretnya berurusan dengan hukum. Bolak-balik ke Polda, hanya untuk menyelesaikan kasusnya bersama pesohor Tanah Air lainnya, seakan menjadi rutinitas hidupnya. Sejak kemunculannya di dunia hiburan, ia tak pernah sepi dipanggil, karena banyak pesohor merasa tersinggung dengan sikapnya tersebut.

Baru-baru ini, giliran Puput Calorina melaporkan dia atas kasus dugaan pencemaran nama baik dan pengancaman.

Kasus ini berawal, ketika Nikita mengungkapkan, jika Puput merupakan pecandu narkoba. Kemudian, perkara itu berlanjut ke Direct Message yang diterima Puput dari Nikita, di mana Nikita memberikan ancaman pukulan.

Tak pelak, berita ini menjadi salah satu penutup di akhir tahun 2018 ini, yang membuat netizen juga sudah hilang akal memahami beragam kasus Nikita Mirzani. Di tahun 2018 saja, misalnya, ia sempat berperkara dengan Sam Aliano. Gara-garanya, kala peluncuran ulang film G30S/PKI, Nikita pernah menyindir panglima Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo lewat cuitannya. 

Tak terima akan cuitan Nikita, Sam Aliano pun melaporkan Nikita atas pencemaran nama baik. Itu pun sempat dibalas Nikita, dengan balik melaporkan Aliano ke Polda Metro Jaya. Ia tak terima dengan tuduhan tersebut. Ujung-ujungnya, Sam Aliano menjadi tersangka.

Kemudian, ada kasus dengan Sujud Ukra. Mantan suaminya itu melaporkan dia atas kasus perebutan anak, karena ia merasa Niki menghalanginya bertemu anaknya. Tak terima, Niki melaporkan balik Sujud. Ia menganggap tuduhan itu fitnah belaka. Sebab, menurut Niki, Sajadlah yang selama ini menelantarkan anaknya tersebut.

Ada lagi kasus dengan Shinta Bachir. Artis aduhai ini melaporkan Nikita bukan ke polisi. Melainka ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) atas tuduhan pencemaran nama baik.

Kasus ini bermula dari sindiran Shinta terhadap Niki soal utang piutang yang belum dilunasi. Sindiran ini menjadi kasus dan dilaporkan ke KPI karena, seperti biasa, Niki balik melakukan sindiran terhadap Shinta. Pokoknya, inilah sindir menyindir yang ujungnya menjadi kasus dan laporan.

Sementara itu, kepada pengacara kondang Hotman Paris, Nikita sempat "curhat" soal kebiasaannya yang kerap menyerang bintang tamu. Ia menegaskan, hal itu dilakukannya karena tuntutan pekerjaannya. Sebagai presenter, Nikita mengaku harus bisa menggali informasi. "Itu kan pekerjan. Kita kan harus profesional. Setiap orang udah ada bagian-bagiannya," ungkap Nikita Mirzani saat menjadi bintang tamu di acara Hotman ParisShow, Rabu, 5 Desember 2018.

Soal bintang tamu yang tersinggung, Nikita menjelaskan bahwa ia sudah membicarakannya saat di belakang panggung. "Sebelum acara live itu biasanya kita kan di belakang panggung suka pada ngobrol," bela Nikita.

Hotman Paris sendiri sempat penasaran mengapa banyak orang yang protes. "Tapi orang kok banyak protes?' tanya Hotman.

"Yang protes kan netizen yang sedang nonton. Mereka kan enggak tahu di belakang kita ngomongin apa, apa yang enggak boleh disebutin. Niki tahu batasan-batasan yang enggak boleh diomongin di TV," terang Nikita. 

Hotman pun menyinggung kembali soal perkataan Nikita yang kerap menuding musuh-musuhnya numpang tenar. "Aku juga sering nonton kamu mengucapkan kata-kata untuk musuh-musuhmu, lo bilang 'eh lo nebeng terkenal aja lo. Sengaja lo nyindir gua biar lo masuk TV' gitu kan?" tanya Hotman.

Menjawab itu, Nikita Mirzani tidak menampik. "Kebanyakan kan emang gitu?" jawabnya tegas.

Kendati dituding kerap serang bintang tamu hingga disebut doyan nyinyir, Nikita menegaskan bahwa semuanya dilakukan untuk pekerjaan. "Lagian Niki nyinyir kan dibayar. Kalau keseharian enggak gitu," tegasnya.

Sumber: nova dan tribun
Pawai Budaya puncak Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, 9 Desember 2018. [ferilatief]
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 diselenggarakan di tengah intoleransi dan konservatisme yang semakin meningkat, yang di beberapa tempat mulai mengancam keberadaan tradisi dan budaya asli yang dianggap tak sesuai dengan ketentuan agama tertentu.

Kebudayaan yang inklusif menjadi kunci menghadapinya, kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, yang menyelenggarakan KKI 2018 ini.

"Sifatnya saling belajar, saling mengenal, saling tahu sudut pandang orang yang berbeda, berusaha memahami, empati, sehingga kemudian toleransi akan muncul dari pemahaman, bukan karena doktrin," ungkapnya, di sela-sela Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, yang berlangsung mulai Rabu hingga Ahad, 5-9 Desember 2018.

Hilmar mengaku, memahami jalan pikiran pihak-pihak yang yang menganut konservatisme. Menurutnya, keterbatasan pengalaman dan lingkungan di mana mereka bergaul menjadi sejumlah faktor yang mempengaruhi cara pandang mereka terhadap hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka.

"Saya juga tidak setuju kalau misalnya 'harus toleran', 'harus Bhinneka Tunggal Ika', dan sebagainya, tapi enggak kasih jalan, gimana sih caranya harus menjadi Bhinneka Tunggal Ika?" lanjutnya. 

Ia menegaskan, strategi mengelu-elukan multikulturalisme dan retorika saling menghargai tidak cukup untuk menembus 'tembok-tembok' yang dibangun oleh sebagian pihak untuk mengkotak-kotakkan kelompok masyarakat.

"Yang kita perlu lakukan sebelumnya di pemerintahan itu (adalah) memperkuat daya cerna kebudayaan orang, sehingga dia bisa menerima apapun yang dia lihat tanpa buru-buru kemudian mengambil sikap menolak," ujarnya.

Itulah, katanya, semangat kongres kebudayaan 2018 ini. 

Tidak seperti kongres-kongres sebelumnya yang didominasi diskusi budaya dan presentasi makalah, tahun ini, kongres juga menampilkan beragam jenis budaya nusantara, dan rencananya akan menelurkan produk konkrit berupa Strategi Kebudayaan.

Dokumen ini merupakan rangkuman aspirasi dan harapan pelaku kebudayaan dari lebih dari 300 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Terdapat tujuh isu strategis dalam Strategi Kebudayaan tersebut, salah satunya yaitu praktik pemikiran kebudayaan yang menghadapi tantangan, baik akibat globalisasi, maupun pembenturan kebudayaan dengan agama.

"Nantinya, Strategi Kebudayaan ini akan disusun menjadi Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK), yang akan menjadi acuan pemerintah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di masa yang akan datang," demikian kata Hilmar sebagaimana dikutip BBC News Indonesia.